Sudah hampir seminggu sejak malam itu. Sejak tatapan dan kata-kata Dokter Andre menembus batas yang selama ini tak pernah Gio bayangkan akan dia lewati.
Setiap hari, ada pesan baru dari Andre.
> "Sudah makan, Gio?"
"Kalau capek, istirahat ya. Nanti malam aku standby di RS."
"Kapan kamu bisa keluar sebentar? Aku kangen ngobrol."
Gio tak selalu menjawab. Tapi dia juga tidak bisa memblokir. Ada sisi dirinya yang masih bertanya-tanya, masih... menunggu.
Sampai akhirnya, suatu sore yang mendung, Andre menjemputnya langsung ke kosan.
Mobil hitam ber-plat dokter itu berhenti di ujung gang. Gio melihatnya dari lantai dua, bingung apakah harus turun atau berpura-pura tak melihat.
Tapi ponselnya bergetar.
> Andre: “Aku di depan. Cuma pengin ngobrol. Lima belas menit aja.”
Gio menarik napas panjang, lalu turun.
---
Di dalam mobil, Andre tampak lebih santai dari biasanya. Kemeja putih, tangan kanan menggenggam stir, tangan kiri sesekali mengusap dagunya. Tapi matanya tetap sama: dalam dan sulit ditebak.
“Makasih udah mau turun,” ucapnya pelan.
“Aku juga bingung kenapa turun,” jawab Gio jujur.
Andre tersenyum kecil. “Kadang kita nggak harus punya alasan buat bertemu orang yang kita... pikirkan.”
Mobil melaju perlahan. Mereka tidak ke tempat jauh. Hanya mengelilingi jalanan kota yang mulai sepi. Radio menyala pelan, tapi lebih banyak sunyi di antara mereka.
“Gio…” Andre akhirnya bersuara lagi. “Aku tahu semua ini mungkin bikin kamu nggak nyaman. Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak peduli.”
“Aku juga nggak tahu harus bagaimana, Dok,” jawab Gio, menunduk.
“Kita nggak perlu buru-buru. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal.” Andre meliriknya. “Kamu berarti buat aku. Bukan cuma karena kamu manis atau bikin aku tenang. Tapi karena... kamu bikin aku berani jadi diri sendiri.”
Gio diam. Hatinya seperti dicekam sesuatu yang tidak bisa ia beri nama.
---
Malam itu, mereka berhenti di taman kecil di dekat rumah sakit. Duduk di bangku beton, ditemani kopi sachet dari warung terdekat.
Di bawah pohon flamboyan yang gugur bunganya, Andre tiba-tiba bertanya, “Gio… kamu pernah merasa... dicintai tapi takut menerimanya?”
Gio mengangkat bahu. “Saya pernah suka sama seseorang... tapi nggak pernah cukup berani buat ungkapin. Jadi, rasanya nggak tahu pasti.”
Andre menatap ke langit yang mendung. “Aku dulu juga pernah. Tapi sekarang... aku ingin setidaknya sekali aja dalam hidupku, aku jujur. Walau semua orang bilang salah.”
Gio menatap wajah pria itu dalam-dalam. Di balik ketenangan dan karismanya, ada kesepian yang menganga.
“Kalau suatu hari kamu ingin menjauh… aku akan terima,” lanjut Andre pelan. “Tapi malam ini, cukup di sini. Temani aku. Itu saja.”
---
Malam itu, ketika Andre mengantar Gio pulang kembali ke kos, Bilal sudah berdiri di depan pintu pagar. Wajahnya tampak tak biasa.
“Lo dari mana, Jo?”
Gio terdiam sesaat. “Keluar sebentar.”
“Naik mobil dokter ya?” tanya Bilal tajam, matanya melirik pelat mobil Andre yang baru berputar balik di ujung gang.