Sudah tiga hari Gio tak membalas pesan. Tak satu pun. Ia mematikan notifikasi, menghapus histori panggilan, dan bahkan menyembunyikan kontak Andre di daftar namanya.
Setiap malam, ia duduk di lantai kamar kos, memeluk lutut dan merenung dalam diam. Setiap suara notifikasi membuat jantungnya berdebar, tapi ia tak berani membuka.
Semua ini salah. Semua ini salah. Semua ini... sudah terlalu jauh.
Gio tahu. Ia bukan anak kecil yang bisa terus-terusan bersembunyi di balik alasan “iba” atau “penasaran.” Ini bukan lagi soal simpati. Ini soal batas. Dan batas itu… sudah remuk.
---
Di sisi lain, Andre seperti kehilangan kendali.
Hari pertama Gio tak membalas, ia menunggu. Hari kedua, ia mencoba menelepon berkali-kali. Hari ketiga… ia datang langsung ke kampus Gio.
Namun tak ada Gio di sana.
Lalu ia ke rumah sakit, bertanya pada Bilal. Tapi Bilal mengeraskan wajah, pura-pura tidak tahu.
“Lo nyari Gio? Dia bilang mau fokus sama tugas akhir, Dok,” ucap Bilal sambil menahan amarah.
Andre tak percaya.
Malam itu, ia duduk sendiri di mobilnya, di depan gang kecil menuju kos Gio. Menunggu. Mengintai. Mencari tanda-tanda.
Namun Gio tak muncul.
---
Hingga suatu malam, pukul sebelas lebih lima belas menit, ponsel Gio bergetar.
[Andre – 14 panggilan tak terjawab]
Satu pesan masuk:
> “Aku di dekat taman. Kalau kamu nggak keluar sekarang, aku akan datang ke kampusmu. Ke rumah temanmu. Ke mana pun. Aku cuma... mau bicara.”
Gio menggigit bibirnya. Ia tahu ini berbahaya. Tapi hatinya pun tak mampu terus menyangkal rasa yang menggeliat sejak malam pertama mereka berbincang.
Ia mengambil jaket, keluar pelan-pelan dari kos. Taman itu sepi. Hanya ada satu mobil yang lampunya menyala redup.
Gio masuk ke dalam tanpa berkata apa-apa.
Andre menatapnya, wajahnya kusut, matanya merah. Wajah seorang lelaki yang kehilangan arah.
“Kenapa kamu menghilang?”
Gio tak menjawab.
“Apa aku terlalu jujur? Apa aku membuatmu merasa kotor?”
“Bukan begitu, Dok.”
“Lalu kenapa?!” Andre membentak—suara yang belum pernah Gio dengar sebelumnya. Bukan suara dokter ramah yang biasa menenangkannya. Ini suara seseorang yang sedang ditinggal dan tak tahu harus apa.
“Aku takut. Kita berdua… terlalu hancur untuk saling menyelamatkan.”
---