Desa Peraduan Jut menyambut pagi dengan lembut. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi embun masih menggantung di pucuk-pucuk padi yang menghijau di ladang luas. Burung-burung kecil bersahutan dari balik dahan jambu di pinggir jalan beraspal sempit, yang mengarah ke hulu desa. Sungai mengalir tenang di balik rerimbun bambu, jernih seperti kaca, menggoda siapa pun yang ingin mencelupkan kaki.
Gio duduk di pinggir sungai, di atas batu besar yang sering ia datangi sejak kecil. Laptopnya terbuka, jari-jarinya menari lambat di atas keyboard, sesekali berhenti saat pikirannya melayang jauh.
Sudah seminggu ia di desa. Cuti kuliah darurat yang ia ambil tak lain karena tekanan mental yang makin menggila. Tapi diam-diam… ia juga menghindar.
Dari Andre.
Dari cintanya.
Dari luka yang ia tak tahu, apakah harus diobati, atau dibiarkan membusuk hingga hilang sendiri.
---
Saat itu, angin berhembus pelan. Suara gemericik air dan desir dedaunan menjadi latar suara yang sempurna untuk heningnya pikiran Gio. Tapi di balik semua itu, hatinya terus bergolak.
> “Aku rindu... tapi aku takut.”
Sejak malam terakhir mereka bertemu, Gio tak pernah benar-benar bisa membuang perasaan itu. Semakin ia menjauh, semakin rindunya terasa nyata. Tapi bersamanya… juga sakit.
Gio menghela napas panjang. Ia menatap hamparan sawah yang luas seperti lautan hijau. Sejenak, semuanya terasa tenang.
---
Sementara itu, di ujung jalan masuk desa, sebuah mobil SUV hitam berhenti di depan warung tua. Seorang pria berambut rapi, dengan jaket kulit hitam, keluar dari dalam mobil.
Andre.
Ia menatap sekeliling, agak canggung. Desa itu begitu asing, begitu sunyi… tapi ada sesuatu yang membuatnya tak ingin pergi.
Ia menghampiri seorang bapak paruh baya yang sedang duduk sambil menjemur kopi.
"Pak… numpang tanya. Rumahnya Gio… anak Pak Budi. Katanya kuliah di Jogja.”
Bapak itu mendongak, menatap Andre dari ujung kaki sampai kepala. Wajahnya datar.
"Oh… dak tau aku, Dide keruan jeme itu. Kaba tanyolah ke kantor desa… seberang sana,” katanya dengan logat Semende yang kental.
Andre mengangguk sopan, tersenyum meski tak paham sepenuhnya. “Terima kasih, Pak.”
Ia menatap jalan kecil yang membelah sawah di kejauhan. Mobil tak bisa lewat. Ia harus jalan kaki.
Tanpa ragu, ia lepas jaket, menggantungnya di bahu, dan melangkah menyusuri pematang sawah yang sempit. Lumpur menyentuh sepatunya, tapi ia tak peduli.
---
Dari kejauhan, Gio tak sadar. Ia masih larut dengan layar laptop dan pikirannya yang kusut. Tapi ketika mendengar suara langkah di balik rumpun bambu, ia mendongak.
Matanya membelalak.
“Pak Dokter?!”
Andre tersenyum. Nafasnya sedikit tersengal, tapi wajahnya lega bukan main.
“Kamu pikir kamu bisa lari terus, Gio?”
Gio langsung berdiri, tak percaya. “Kok bisa ada di sini? Ini jauh dari mana-mana!”
Andre tak menjawab. Ia hanya melangkah cepat, mendekat, lalu… memeluk Gio erat.
Awalnya Gio kaku. Tapi tubuhnya ingat. Hatinya terlalu lemah untuk melawan perasaan yang sudah terlalu lama ia bendung. Ia membalas pelukan itu—dan mereka berciuman di bawah pohon bambu, di tepi sungai yang jernih, jauh dari siapa pun.
---
Hari itu, tak ada siapa pun yang lewat. Hanya burung, angin, dan air yang menjadi saksi bisu dua manusia yang menyerah pada hasrat dan rindu.
Andre mengusap pipi Gio pelan. “Aku kangen kamu…”
“Ini salah…” bisik Gio, tapi matanya tak bisa bohong.
“Lalu kenapa kamu tidak menolak pelukan ini?”
Gio terdiam. Ia tak punya jawaban.
---
Beberapa menit berlalu. Mereka duduk berdampingan di tepi sungai.
Gio bersandar di bahu Andre.
“Gue bingung, Dok. Hati gue bilang iya, otak gue bilang jangan.”
Andre menggenggam tangan Gio. “Kadang cinta nggak perlu logika, Gio.”
“Tapi cinta kayak kita bukan cuma soal rasa. Ada luka di belakangnya. Ada istrimu. Ada dunia luar.”
Andre menatapnya dalam. “Dunia luar nggak pernah tahu bagaimana aku merasa hidup setiap kali bersamamu. Aku tidak bohong, Gio. Kamu bukan pelarian. Kamu pelengkap.”
---