Hari-hari berlalu sejak Gio membaca surat dari Andre di penginapan kecil itu. Seminggu, dua minggu, hingga nyaris sebulan, Gio berusaha membiasakan diri kembali ke kehidupan yang semestinya: kuliah, tugas, dan rutinitas kos. Tapi segalanya tidak benar-benar sama. Tidak sejak pertemuan terakhir itu. Tidak sejak ciuman mereka yang menjadi luka paling dalam.
---
Pagi itu hujan mengguyur Yogyakarta. Langit kelabu, dan air menetes di jendela kamar kos Gio yang sempit. Ia duduk di meja belajarnya, mencoba menulis makalah untuk kuliah filsafat, tapi pikirannya tak kunjung fokus.
Nama Andre masih terpatri di ujung pikirannya.
Ia menatap ponselnya. Sudah seminggu Andre tidak menghubungi. Mungkin sudah menyerah, atau mungkin… sudah benar-benar menghilang.
Tapi entah mengapa, ketenangan itu justru menyesakkan.
> “Kenapa lo nggak gangguin gue lagi, Dok?”
“Kenapa gue malah nyariin lo?”
Gio memijat pelipisnya sendiri, lalu berdiri menuju dapur kecil. Ia membuat kopi, mencoba mengusir kantuk yang tidak ada, dan melawan rindu yang tak pernah ia undang.
Di sisi lain kota, Andre duduk di dalam mobil hitamnya. Parkir beberapa meter dari kos Gio.
Sudah dua hari ia mengintai dari jauh. Ia tidak berani mendekat. Tapi ia juga tidak sanggup benar-benar pergi.
---
Sore harinya, Gio bertemu dengan Farel di Gramedia. Sahabatnya itu tetap ceria seperti biasa, tapi ia mulai menyadari bahwa ada perubahan besar pada Gio.
“Lo tuh kenapa sih, belakangan jadi pendiem banget?” tanya Farel, sambil menelusuri rak-rak buku hukum.
“Enggak, cuma lagi capek aja,” jawab Gio cepat.
Farel menatapnya lama. “Lo masih mikirin… dia?”
Gio diam.
Farel menghela napas. Ia merasa bersalah. Kalau saja waktu itu dia tidak memberi tahu Andre soal alamat kampung Gio…
“Lo tahu, kan? Dia tuh udah punya istri, Gi,” ucap Farel pelan. “Kalau lo terus-terusan larut, lo bisa hancur, bro.”
Gio menunduk. “Gue tahu.”
“Tapi lo masih cinta?”
Gio tak menjawab.
---
Malamnya, Gio pulang ke kos dan mendapati secarik kertas terselip di bawah pintu.
Tangannya gemetar saat mengambilnya.
> Aku cuma mau lihat kamu dari jauh. Tapi ternyata lebih sakit dari yang kupikirkan.
Maaf. Aku belum bisa melepaskanmu. – A
“Dia… ke sini?” gumam Gio. Ia menatap ke luar jendela. Tak ada siapa-siapa. Hanya hujan dan gelap.
---
Hari-hari berikutnya, Gio mulai melarikan diri dalam kesibukan. Ia ikut proyek kampus, mengisi waktunya dengan kerja kelompok, les tambahan, bahkan ikut komunitas baca. Ia mencoba menormalkan hidup. Makan, belajar, tidur.
Tapi… malam selalu menjadi musuh.
Saat semua sunyi, wajah Andre hadir kembali. Suara napasnya. Sentuhannya. Kata-kata manis yang kadang menyakitkan.
Gio pernah berpikir, ia bisa melupakan. Tapi yang datang bukan lupa—melainkan luka yang makin dalam.
---
Di sisi lain kota, Andre menjadi semakin gila bayangan. Ia mulai kehilangan fokus di ruang operasi. Beberapa suster mulai membicarakan kebiasaan barunya yang sering melamun.
Istrinya, Laras, tidak lagi bicara. Mereka tinggal serumah, tapi seperti orang asing. Laras hanya bicara jika perlu. Tidak ada lagi kopi pagi, tidak ada makan malam bersama. Bahkan kamar pun kini terpisah.
Laras tahu Andre belum berubah. Tapi ia juga tahu, mengikat seseorang dengan luka tak akan menyembuhkan siapa pun. Diam menjadi bentuk perlawanan yang tenang, tapi tajam.
---
Satu malam, Gio menerima telepon tak dikenal.
Awalnya ia ragu mengangkat. Tapi ponsel terus bergetar.
“Halo?” suaranya parau.
“Hai… Gi. Ini aku.”
Suara itu.
Gio langsung terduduk.
“Kenapa… lo nelpon?”