UNSPOKEN

DENI IRWANSYAH
Chapter #8

BAB 8 PERTEMUAN YANG MEMBAKAR

Langkah Gio menyusuri koridor rumah sakit terasa berat, tapi pasti. Setiap suara langkahnya bergema di lantai keramik, menciptakan irama ketegangan yang tak bisa dibungkam.

Sudah lewat pukul sembilan malam. Shift malam baru saja dimulai. Beberapa suster menyapa sopan, meski dengan lirikan heran. Wajah Gio yang dulu sering terlihat di rumah sakit itu, kini kembali, tapi dengan aura yang berbeda. Tak ada senyum malu-malu. Tak ada mata yang bersinar. Yang tersisa hanya keputusan untuk menyelesaikan semuanya.

Ia berhenti di depan ruang operasi.

Nafasnya bergetar.

“Permisi, saya mau ketemu dokter Andre,” ucapnya pada suster jaga.

“Oh, dokter Andre baru saja selesai operasi ringan. Masuk saja, dia masih di dalam ruang ganti,” jawab suster sambil menunjuk ruangan di sisi dalam.

Gio mengangguk. Kakinya melangkah pelan… dan saat membuka pintu…

Andre berdiri di sana.

Masih dengan pakaian hijau operasi. Rambutnya sedikit basah, mungkin karena baru mencuci muka. Dan ketika mata mereka bertemu, waktu seperti terhenti.

“Gio…” suara Andre seperti angin yang menabrak lembut, tapi penuh kejutan.

Gio berdiri tegak. Napasnya berat, dadanya bergemuruh.

“Aku gak bisa lagi diem,” kata Gio, dingin tapi gemetar. “Aku gak mau terus-terusan jadi pelarian lo. Dan gue bukan lagi anak kecil yang bisa lo bujuk pakai kata manis atau pelukan.”

Andre menghela napas. “Aku gak pernah anggap kamu pelarian…”

“Lalu apa? Cinta?” Gio mendekat. “Cinta macam apa yang bikin gue dibenci satu kampus? Cinta apa yang bikin gue dihina, dijauhi, dianggap sampah?”

Andre mematung.

“Aku gak bisa kontrol dunia luar, Gio…”

“Bukan dunia luar yang gue tuntut! Tapi lo! Kenapa lo biarin ini semua meledak dan lo cuma diem? Lo enak-enak di rumah mewah lo, gue di sini diganyang habis-habisan!”

Andre tampak terpukul.

Ia mendekat, pelan. “Aku juga terluka, Gio…”

“Jangan! Jangan samain luka lo sama gue!” seru Gio. Suaranya mulai pecah. “Lo punya istri, lo punya anak, lo punya hidup yang utuh. Gue? Gue gak punya apa-apa sekarang!”

Andre terdiam.

Tangannya terulur, tapi Gio mundur selangkah.

> “Kenapa lo diam aja waktu semua orang nyebar gosip tentang gue?” “Kenapa lo gak muncul dan bilang ke dunia bahwa gue bukan sampah lo?” “Kenapa lo cuma jadi penonton dari balik tirai?”

Andre menunduk. Lalu akhirnya bersuara, pelan tapi tegas.

> “Karena aku pengecut, Gio.”

Kata itu menghantam dada Gio lebih keras dari yang ia duga.

“Aku takut kehilangan segalanya—istriku, anak-anakku, posisiku di rumah sakit. Tapi aku juga gak bisa kehilangan kamu.”

Air mata mulai mengalir di pipi Gio. Ia tak bisa menahan lagi.

“Aku juga sayang sama lo, Dok… Tapi gue capek.”

Andre maju dan memeluk Gio. Erat. Hangat. Tapi berbeda dari sebelumnya. Kali ini pelukan itu penuh luka.

“Aku akan perbaiki semuanya,” bisik Andre.

“Gak bisa,” jawab Gio, memejamkan mata. “Beberapa hal… gak bisa diperbaiki.”

---

Mereka duduk di ruang istirahat, masih dalam diam. Gio meminum air putih, sementara Andre menatap meja.

“Aku udah ketemu istri lo,” ucap Gio akhirnya.

Andre menoleh. “Laras?”

“Iya. Dia gak marah. Tapi dia juga gak ngasih restu. Dan itu lebih sakit.”

Andre mengangguk pelan. “Dia terlalu baik. Aku gak pantas…”

Lihat selengkapnya