UNSPOKEN

DENI IRWANSYAH
Chapter #9

BAB 9 LUKA YANG MENDIDIK

Hari-hari berlalu. Waktu terus berjalan, meski hati Gio kadang terasa tertinggal di pertemuan-pertemuan yang menyakitkan.

Tapi luka tak bisa terus dijadikan alasan. Maka Gio mulai menyibukkan dirinya dengan hal baru—menulis. Ia tidak tahu kenapa, tapi sejak kecil ia suka menulis di buku harian. Kini, setelah semua yang ia alami bersama Andre, ia merasa kata-kata adalah satu-satunya tempat yang aman. Tempat di mana ia tidak dihakimi. Tempat di mana ia bisa meluapkan semuanya tanpa takut ditinggalkan.

Ia mulai sering datang ke UKM Literasi di kampus. Di sana, tak ada yang tahu siapa dia. Tak ada yang peduli tentang gosip masa lalu. Mereka hanya membaca tulisannya, dan memberi masukan.

Hari itu, Gio berdiri di depan papan tulis dalam ruang kecil UKM. Ia membaca tulisannya—cerpen tentang seseorang yang mencintai dalam diam, lalu belajar melepaskan dengan sepi.

Semua yang hadir terdiam. Salah satu senior berkata pelan, “Gio… tulisan kamu dalam banget. Kayak… kamu nulis dari luka yang belum sembuh.”

Gio tersenyum. “Mungkin karena saya belum sembuh sepenuhnya.”

---

Di sela-sela waktu kosong, Gio sering datang ke taman belakang perpustakaan kampus. Duduk di bangku panjang, ditemani kopi sachet dan laptop. Ia menulis kisahnya menjadi naskah. Bukan untuk dipublikasikan, bukan untuk dibaca siapa-siapa.

Tapi untuk mengurai benang luka dalam dirinya sendiri.

> “Hari ini aku sadar, kadang cinta datang untuk mengajarkan kita arti kehilangan. Bukan untuk dimiliki, tapi untuk membentuk.”

Gio tersenyum sendiri membaca kalimat itu.

---

Satu malam, Farel datang membawakan makanan.

“Makan dulu, Gi. Lo dari tadi belum nyentuh apa-apa.”

Gio menerima kotak nasi. “Makasih ya, Rel. Lo satu-satunya yang masih percaya sama gue.”

Farel menepuk pundaknya. “Lo udah gak perlu buktiin apa-apa ke orang lain, Gi. Lo cukup buktiin ke diri lo sendiri… bahwa lo lebih kuat dari rasa sakit itu.”

Gio tersenyum. “Kadang gue pikir, kalau dulu gue gak kenal Andre, hidup gue mungkin lebih tenang.”

“Tapi lo gak akan jadi kayak sekarang,” ujar Farel pelan.

Gio menatap sahabatnya. “Ya. Gue mungkin gak sekuat ini. Gak setegar ini.”

---

Beberapa hari kemudian, kampus mengadakan lomba menulis kisah reflektif bertema “Hidup yang Tak Direncanakan”. Gio awalnya ragu. Tapi akhirnya ia ikut.

Ia menulis naskah dengan judul: “Aku Pernah Menjadi Rahasia Seseorang”

Isi ceritanya tajam. Jujur. Menyayat. Tapi juga puitis.

Banyak yang terkejut. Juri memuji. Ia menang.

Namun Gio tidak euforia. Ia hanya tersenyum kecil, lalu menatap langit malam seusai menerima piagam penghargaan.

> “Tuhan... mungkin ini alasannya aku harus terluka kemarin. Karena ada sesuatu yang lebih besar yang Kau ingin aku tulis hari ini.”

---

Malam itu, Andre duduk di sofa rumah barunya—ia kini tinggal sendiri. Di meja, sebuah artikel digital terbuka di ponselnya. Judulnya: “Mahasiswa Menulis Tentang Luka dan Melepaskan, dan Kita Semua Tersentuh.”

Ia membaca isi artikel itu perlahan.

Wajahnya pucat.

Di akhir artikel, ada kutipan dari cerpen itu:

> “Aku pernah menjadi rahasia seseorang. Disembunyikan demi menjaga dunianya. Tapi setelah aku pergi, aku tahu... dunia aku tak boleh ikut hancur. Karena aku juga pantas untuk dicintai secara terang-terangan.”

Tangan Andre gemetar. Ia meletakkan ponsel, lalu memejamkan mata.

Air matanya jatuh.

> “Maaf, Gio… aku terlalu lambat untuk menjadi benar.”

---

Di waktu yang sama, Gio berdiri di depan cermin kamar kosnya. Ia melihat dirinya sendiri.

Lihat selengkapnya