Pagi itu, matahari malu-malu muncul dari balik tirai jendela. Rumah kecil mereka di pinggiran Sleman terasa hangat. Ada aroma roti bakar, dan suara pelan air menetes dari wastafel dapur.
Gio menuangkan teh ke dalam dua cangkir, lalu membawanya ke ruang tamu, di mana Andre duduk berselimut dengan kaus kaki wol, matanya memandang ke luar jendela.
“Masih dingin?” tanya Gio sambil menyodorkan cangkir.
Andre mengangguk. Ia terlihat pucat. Wajahnya masih rupawan, tapi sorot matanya tak secerah biasanya.
“Kamu harus makan, Dok. Jangan cuma minum teh.”
Andre menatap Gio. “Jangan terlalu sering panggil aku ‘Dok’. Di rumah ini... aku cuma Andre. Orang yang kamu sayang.”
Gio terdiam. Hatinya hangat. “Oke... Andre.”
Mereka saling tersenyum.
---
Hari-hari berjalan pelan. Andre memang belum sehat sepenuhnya. Diagnosis dokter belum menggembirakan. Tapi itu tidak membuat mereka putus harapan. Mereka mencoba membangun sebuah kehidupan kecil, sederhana, dan bermakna.
Setiap hari mereka punya rutinitas:
Pagi: Gio membuat sarapan dan menyiapkan obat.
Siang: Mereka membaca buku bersama atau menonton film lama.
Sore: Gio mengerjakan tugas kuliah, Andre duduk menulis jurnal atau membaca Al-Qur'an pelan-pelan.
Malam: Mereka saling bercerita. Tentang masa lalu, masa depan, dan ketakutan-ketakutan yang belum sempat diungkap.
---
Namun badai datang juga.
Suatu malam, Andre muntah darah.
Gio panik. Ia membawa Andre ke UGD, dengan tangan gemetar menyetir motor pinjaman.
Setelah dirawat, dokter bilang: “Ini bukan akhir. Tapi sinyal keras bahwa dia harus benar-benar istirahat total.”
Hari itu, Gio menangis diam-diam di ruang tunggu rumah sakit.
Ia duduk sendiri, menggenggam dompet Andre yang terjatuh.
Di dalamnya ada foto kecil: foto Gio, diambil dari kartu mahasiswa lama.
Hati Gio mencair.
---
Beberapa hari kemudian, Andre pulang ke rumah. Wajahnya lebih tirus, tapi senyumnya tak hilang.
“Aku nggak nyangka, Gi… aku bisa setakut ini kehilangan hidup. Dulu aku pikir, aku udah cukup hidup—punya keluarga, anak, pengalaman. Tapi ternyata... ada hidup yang baru setelah ketemu kamu.”
Gio duduk di sisi ranjang. “Gue juga takut kehilangan lo. Tapi gue tahu, gue gak bisa cegah semua hal buruk. Tapi gue bisa jagain lo selama gue masih di sini.”
Andre memeluk Gio. Pelukan itu lebih hangat dari selimut mana pun.
---
Namun cobaan tak hanya datang dari tubuh Andre. Lingkungan pun mulai mencium ada yang ‘tidak biasa’ dari hubungan mereka.
Pemilik rumah kos tetangga mulai berbisik-bisik.
Suatu malam, ada surat tanpa nama diselipkan ke pagar:
“Kalian menjijikkan. Pindahlah. Ini lingkungan normal.”
Gio menggenggam surat itu erat. Tapi tidak menunjukkan ke Andre.
Namun Andre mengetahuinya juga. Ia hanya memandang Gio dengan wajah lelah.
“Kita bisa pindah kalau kamu mau,” ucap Andre.
“Tapi kalau kita terus lari, kita gak akan pernah punya tempat di dunia ini,” jawab Gio.
---