UNSPOKEN

DENI IRWANSYAH
Chapter #11

BAB 11 KOTAK KAYU

Angin sore menyusup dari sela-sela jendela rumah. Gio baru saja pulang dari kampus dengan mata sembab. Hari itu ia menangis di toilet kampus setelah menerima nilai A+ untuk skripsinya—bukan karena bahagia, tapi karena ia teringat orang yang paling berperan dalam proses itu: Andre.

Setiap malam sebelum tidur, Andre selalu mengingatkan,

Kini, ia pulang dengan satu kabar baik.

Ia membuka pintu, dan mendapati Andre tertidur di sofa, mengenakan sweater abu-abu dan sarung. Sebuah buku kecil terbuka di dada, dan jari-jarinya masih menggenggam bolpoin.

Gio mendekat, menyentuh kening Andre. Masih hangat.

“Dok...” bisiknya.

Andre membuka mata pelan. Senyumnya muncul. “Gue ngelamun barusan. Mimpi kita jalan-jalan ke Karimun Jawa.”

Gio duduk di lantai, bersandar di sofa. “Kalau lo udah kuat, kita beneran ke sana ya.”

Andre tertawa lemah. “Deal.”

Malam itu, setelah makan malam sederhana—nasi hangat, telur dadar, dan bayam rebus—Andre meminta Gio menyalakan lilin di ruang tamu. Listrik sempat mati sore tadi, dan mereka sudah terbiasa hidup tenang dengan penerangan seadanya.

“Gue punya sesuatu buat lo,” kata Andre sambil menunjuk rak buku kecil di sisi ruang tengah.

“Yang kotak kayu warna cokelat tua.”

Gio mengangguk dan mengambilnya. Kotak itu sederhana, dengan ukiran garis tipis di sisinya. Di atasnya tertulis nama Gio, tapi dengan huruf sambung yang membuatnya sedikit samar.

“Buka, sekarang,” kata Andre.

Gio membuka perlahan. Di dalamnya, ada secarik kertas yang dilipat dua, dan sebuah flashdisk kecil berwarna biru.

Gio memandang Andre. “Apa ini?”

Andre hanya tersenyum. “Baca dulu suratnya.”

Gio membuka lipatan kertas itu, dan mulai membaca dengan suara pelan. Suaranya gemetar, tangannya sedikit bergetar, dan wajah Andre terlihat sedikit tegang.

Untuk Gio, cinta yang tak pernah kutahu bisa kuberi pada siapa pun setelah dunia meniliku gagal sebagai lelaki.

Gi,

Kalau kamu membaca ini, berarti kamu tetap ada di sampingku, dan aku... masih punya waktu. Surat ini bukan surat perpisahan. Tapi surat terima kasih.

Terima kasih sudah bertahan di sisi seseorang yang tubuhnya terus melemah dan jiwanya sering takut.

Terima kasih sudah mengubah kesunyian di hatiku menjadi ruang kecil yang penuh canda dan harapan.

Aku tahu kamu kehilangan banyak hal karena bersamaku: kesempatan magang, hidup ‘normal’, bahkan kebebasanmu.

Tapi setiap kali aku melihat kamu tertidur di sofa karena begadang menjaga infusku, aku merasa... aku tidak sendiri di dunia ini.

Kalau nanti aku benar-benar harus pergi, jangan benci dunia. Jangan benci dirimu. Jangan berhenti menulis. Jangan takut membuka pintu untuk cinta yang baru.

Aku bukan orang yang sempurna, bahkan sering kali penuh dosa. Tapi sejak kamu datang, aku belajar jadi lebih manusia.

Terima kasih, Gi. Kalau hidup bisa diputar ulang, aku tetap mau jadi orang yang kamu cium pertama kali di lorong rumah sakit malam itu.

Dan flashdisk itu... isinya semua tulisan yang gak pernah aku tunjukkan ke siapa-siapa. Tentang kamu. Tentang kita. Gunakan kalau kamu mau.

Atau buang saja, kalau itu menyakitkan.

Aku mencintaimu.

– Andre

Selesai membaca, air mata Gio sudah jatuh satu per satu. Ia tidak bisa berkata-kata. Andre hanya diam, menatap wajah Gio yang bergetar menahan isak.

“Kenapa lo kasih surat ini sekarang?” tanya Gio dengan suara serak.

Andre menarik napas dalam-dalam. “Karena kita gak pernah tahu... kapan hari terakhir.”

“Tapi lo belum akan pergi, kan?”

Andre menggeleng, “Enggak sekarang. Tapi kalau pun nanti waktunya tiba, gue gak mau ninggalin lo dalam tanya.”

Gio berdiri, memeluk Andre dari belakang. Mereka tak berkata apa-apa cukup lama.

Beberapa hari kemudian, Gio membuka flashdisk itu di laptopnya. Ia tak langsung membacanya. Butuh keberanian. Tapi ketika ia buka, ia menemukan folder bernama:

Di dalamnya ada 17 file dokumen.

Lihat selengkapnya