UNSPOKEN

DENI IRWANSYAH
Chapter #12

BAB 12 DUNIAKU DUNIAMU

Pagi itu, suasana kampung tempat Gio dan Andre tinggal mulai terasa... berbeda. Seperti udara yang sedikit lebih berat dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena bisik-bisik kecil mulai terdengar dari warung, teras, hingga masjid.

Di teras rumah Bu Jamilah, seorang janda muda dengan semangat hidup yang luar biasa, dua kursi plastik sudah terisi sejak subuh. Bu Jamilah, Bu Minten, dan Bu Isa sedang menyeruput teh sambil membahas topik paling hangat minggu itu: dokter yang tinggal bersama pemuda tampan bernama Gio.

“Bu Minten tahu gak sih... yang tetangga ibu itu... yang dokter ganteng itu?” tanya Bu Jamilah dengan mata berbinar.

“Yang rambutnya putih bersih tapi kulitnya mulus kayak artis Korea itu?” balas Bu Minten sambil menaikkan alis. “Siapa sih yang gak tahu.”

“Aku tuh ya...” Bu Jamilah mendesah, “Belum pernah lihat istri atau keluarganya. Padahal setahuku dia udah kepala lima. Tapi masih awet muda dan... perkasa.”

“Perkasa?” Bu Isa nyeletuk sambil tertawa cekikikan.

“Iya. Perkasa... dalam segala hal,” Bu Jamilah mengedip, mencoba menggoda. “Secara aku janda, ya aku mau jadi yang keberapa kek. Yang penting dia mau...”

“Waduh, mimpi kali ye!” sahut Bu Minten, tertawa terbahak. “Si dokter itu mau sama Bu Jamilah? Secara... ya maaf ya... badannya montok bukan main, makannya rakus. Gak cocok!”

“Halah, jangan sirik Bu Minten. Janda juga punya hak untuk berhayal,” bela Bu Jamilah sambil menyambar pisang goreng dari piring.

“Eh, tapi...” Bu Isa mendekat dan menurunkan volume suaranya. “Kalian sadar gak? Dia itu... sering banget bareng cowok muda itu lho. Yang tinggi, putih, cakep. Yang namanya Gio tuh...”

“Nah iya! Aku pikir anaknya... tapi kok tangannya sering gandengan. Pernah aku lihat si Gio itu nyender di bahunya waktu mereka duduk di taman depan rumah.”

Bu Jamilah menatap serius. “Kalian... mikir kayak aku gak?”

“Mikir apa?” tanya Bu Minten.

“Jangan-jangan... mereka itu... ya gitulah... pasangan.”

Ketiga perempuan itu terdiam sesaat. Lalu tertawa kecil—tapi tawa yang penuh tanda tanya. Mereka tahu, pembicaraan ini akan segera menyebar seperti api di musim kemarau.

Sore harinya, Andre sedang menyiram tanaman di halaman depan saat Gio pulang dari kampus. Ia mengenakan kemeja biru muda yang sudah agak kusut dan ransel besar di punggungnya.

“Udah pulang?” sapa Andre.

Gio mengangguk, lalu tersenyum. Tapi saat hendak membuka pagar, ia merasa... banyak mata mengintai. Dari celah jendela. Dari tirai warung. Dari balik pohon mangga milik Pak RT.

“Dok,” kata Gio perlahan setelah masuk, “sepertinya... desas-desus udah mulai tersebar.”

Andre tak menjawab langsung. Ia hanya menghela napas panjang.

“Sudah kuduga. Dunia ini... gak pernah diam. Mereka akan selalu mencari cerita untuk dijadikan bumbu.”

“Terus kita gimana, Dok?”

Andre meletakkan selang air dan menatap mata Gio. “Kita tetap hidup. Di rumah kita. Dengan cara kita.”

Beberapa hari kemudian, undangan arisan RT datang. Andre dan Gio sebenarnya enggan hadir, tapi Pak RT sendiri yang meminta.

“Kehadiran dokter sangat ditunggu warga. Sudah lama gak ketemu,” katanya ramah.

Malam itu, Andre mengenakan batik abu-abu, dan Gio dengan kemeja putih polos. Mereka datang berdua. Tak menggandeng, tak bermesraan. Hanya duduk berdampingan dan menjawab salam sopan.

Tapi suara-suara tetap terdengar lirih.

“Itu... yang katanya tinggal serumah...”

“Pantesan anak muda itu jarang dekat sama cewek...”

“Eh tapi ya... rumah mereka rapi banget. Bersih. Dan gak pernah ganggu siapa-siapa...”

Pak RT bahkan sempat berdiri untuk memberikan sambutan:

“Saya pribadi berterima kasih sama Pak Andre dan Mas Gio. Rumah beliau berdua selalu jadi contoh kebersihan dan ketenangan. Kalau ada desas-desus, sebaiknya kita bicara langsung, bukan menyebarkan tanpa bukti.”

Andre hanya tersenyum tipis. Gio memegang lututnya di bawah meja, pelan-pelan, sebagai isyarat: “Kita gak sendiri.”

Keesokan paginya, di dapur...

“Dok... kamu gak marah sama mereka?” tanya Gio sambil mengaduk teh.

“Enggak. Mereka bukan jahat. Cuma belum paham.”

“Kalau mereka tahu yang sebenarnya...?”

Lihat selengkapnya