UNSPOKEN

DENI IRWANSYAH
Chapter #14

BAB 14 Klinik Cinta, Rasa Cemburu

Pagi itu matahari bersinar malu-malu, menembus tirai tipis ruang tamu yang baru saja selesai direnovasi. Di dinding tergantung papan kayu bertuliskan:

Klinik kecil itu resmi dibuka seminggu yang lalu. Tidak megah, tapi penuh kehangatan. Di ruang tunggu, ada rak buku dengan koleksi novel, ensiklopedia, dan cerita anak. Di sebelahnya, karpet besar tempat anak-anak duduk, membaca, atau belajar menggambar.

Gio yang mengatur rumah baca. Ia yang memilih buku, mendesain pojok baca, dan bahkan mengajar anak-anak membaca setiap sore.

Sementara Andre, masih menjadi dokter seperti biasa—menangani pasien dari berbagai kalangan. Tapi kini, konsultasi gratis dua hari sekali menjadi aktivitas rutin.

“Dokter... terima kasih ya. Anak saya sekarang berani ngomong sama orang, habis sering baca bareng Kak Gio,” ucap seorang ibu muda.


Andre tersenyum. Ia menepuk pundak Gio malam itu. “Kamu tahu, hidupku seperti hidup kembali sejak kita punya tempat ini.”

Gio hanya tersenyum. Ia bahagia.

Tapi tak lama, awan gelap mulai menggelayuti kebahagiaan itu.

Kabar datang dari Yogya: Laras sakit.

Andre mendapat telepon dari salah satu anaknya.

“Bunda dirawat, Ayah. Beliau minta Ayah datang, tapi... katanya jangan ajak siapa-siapa dulu.”

Andre terpaku. Sejak keputusan mereka berpisah, komunikasi hanya sebatas kabar anak-anak. Laras tidak pernah meminta apa-apa. Tapi kali ini, ia minta ditemani.

Gio yang mendengarnya mencoba tersenyum. “Kamu harus ke sana, Dok. Itu bagian dari hidupmu juga.”

Andre mengangguk. Tapi Gio tahu, hatinya terasa aneh. Seperti tersisih. Seperti bukan bagian dari “keluarga.”

Hari-hari berikutnya, Gio sendirian mengelola rumah baca dan klinik. Anak-anak tetap datang, pasien tetap mengantre, tapi tanpa Andre, segalanya terasa sepi.

Di malam-malam itu, Gio sering duduk termenung di teras, memandangi bulan, bertanya-tanya:

Suatu sore, ketika Gio sedang mengajar anak-anak membaca puisi, Farel datang membawa es teh.

“Gio!” sapa Farel ceria. “Aku lewat tadi. Lho, ini rumahmu sekarang?”

Gio berdiri dan tersenyum. “Iya, sini tempat kami buka rumah baca dan klinik gratis.”

Farel duduk. Matanya berkeliling, melihat suasana yang sederhana tapi menyenangkan.

“Aku udah lama pengin ngobrol, Gio,” ucap Farel setelah anak-anak pulang. “Aku... tahu semuanya. Tentang kamu dan Dokter Andre.”

Gio menegang. “Kamu... tahu dari mana?”

“Bukan dari gosip. Tapi dari caramu dulu waktu kita di Gramedia... dari tatapanmu. Dan aku gak buta, Gio. Aku sahabatmu. Bukan hakimmu.”

Gio menunduk, menahan haru.

“Aku sempat bingung, sempat gak percaya. Tapi... setelah aku pikir-pikir, kamu gak berubah. Kamu tetap Gio. Dan Dokter Andre... orang baik. Kalau kalian saling menyayangi, ya sudah. Aku dukung.”

Gio memeluk Farel. Air matanya menetes. “Terima kasih, Rel. Dunia udah cukup kejam, tapi kamu masih berdiri di sini.”

Farel tertawa. “Lagipula... aku gak tega lihat kamu sendirian ngurus tempat ini. Boleh aku bantu? Minimal ngajar gambar tiap Sabtu?”

Gio tersenyum lebar. “Tentu! Aku butuh banget orang yang bisa gambar komik. Anak-anak pasti seneng.”

Sementara itu, di Yogya, Andre menemani Laras di rumah sakit. Wanita itu terbaring lemah, tapi wajahnya tetap teduh.

“Terima kasih sudah datang, Andre,” ucap Laras pelan.

“Kamu gak perlu terima kasih. Kamu bagian dari hidupku.”

Laras tersenyum. “Aku sudah tahu kamu bahagia sekarang. Aku lihat fotomu dan Gio di internet waktu kalian buka rumah baca. Aku senang... akhirnya kamu jujur.”

Lihat selengkapnya