UNSPOKEN

DENI IRWANSYAH
Chapter #15

BAB 15 API DI TENGAH ASA

Senja baru saja beranjak dari langit saat suara sirine meraung keras menembus keheningan sore. Asap hitam tebal menjulang tinggi di sisi timur kota, mengepul dari sebuah bangunan yang selama ini menjadi tempat impian dan harapan banyak anak—Rumah Baca Harapan Kita, milik Andre dan Gio.

Andre yang saat itu tengah memeriksa pasien di klinik langsung menghentikan aktivitasnya begitu mendapat telepon dari warga.

“Pak Dokter, rumah baca… rumah baca terbakar!” suara di ujung sana terengah-engah, diiringi deru napas dan suara orang berteriak di latar belakang.

Tanpa pikir panjang, Andre melepas jas putihnya dan berlari keluar. Gio yang sedang mencatat nama pasien langsung mengejarnya.

“Andre! Tunggu! Aku ikut!”

Dengan motor trail-nya, Andre dan Gio meluncur menuju lokasi. Jarak ke rumah baca memang tak terlalu jauh dari klinik mereka. Tapi sore itu, setiap detik terasa sangat panjang.

Saat mereka tiba, api sudah menjalar hampir ke seluruh atap. Anak-anak menangis di pinggir jalan, beberapa ibu-ibu menjerit, dan para relawan mencoba menyelamatkan buku yang tersisa. Beberapa petugas pemadam kebakaran tengah berjibaku memadamkan kobaran api.

Gio tercekat. “Ya Allah… kenapa bisa begini…”

Andre melangkah pelan, matanya tak lepas dari kobaran api yang melahap buku-buku yang dulu ia dan Gio kumpulkan dari sumbangan, dari hasil patungan, dan dari hati yang penuh kasih. Di sisi lain halaman, Laras berdiri mematung dengan wajah pucat. Ia baru saja pulang dari terapi di klinik, dan ketika melihat asap, ia langsung menuju lokasi.

“Apa ada yang terluka?” Andre bertanya pada salah satu warga.

“Tidak, semua selamat. Untung belum banyak anak yang datang, masih sore.”

“Penyebabnya apa?”

“Belum tahu, tapi katanya ada yang lihat motor mencurigakan semalam. Ada suara seperti pecahan kaca juga.”

---

Malam itu, api berhasil dipadamkan. Tapi sisa bangunan rumah baca hanyalah puing-puing kayu hangus, abu yang beterbangan, dan bau gosong yang menusuk hingga ke dada.

Gio terduduk di tangga, menatap kosong. “Kenapa begini, Andre? Siapa yang tega? Ini tempat buat anak-anak… bukan milik kita sepenuhnya…”

Andre tak menjawab. Ia merasakan tekanan luar biasa di dadanya. Ini bukan hanya soal rumah baca, tapi tentang harapan, tentang perjuangan, tentang impian yang mereka bangun bersama.

Tak lama kemudian, Laras duduk di samping Gio. Matanya sembab.

“Aku sudah bilang sama Andre kemarin… aku curiga ada yang mengawasi,” bisiknya pelan. “Aku dengar kabar… dari keluargamu, Dre. Ada yang gak suka dengan apa yang kita lakukan.”

Andre menoleh tajam. “Siapa? Siapa yang berani?”

Laras menunduk. “Aku gak tahu pasti. Tapi… mungkin kakak iparmu. Dia bilang kamu sudah berubah. Terlalu dekat sama orang-orang ‘pinggiran’, terlalu banyak main drama sosial katanya. Dan dia… dia juga tahu tentang Gio.”

Gio langsung berdiri. “Jadi maksudmu ini dibakar… karena aku?”

“Bukan salahmu,” Andre langsung meraih tangannya. “Jangan pikir begitu.”

Tapi Gio hanya menggeleng pelan. Dadanya sesak. Rumah baca itu adalah tempat pertama di mana ia merasa diterima. Sekarang, tempat itu tinggal kenangan.

--

Beberapa hari berlalu, suasana di sekitar klinik dan rumah kontrakan mereka jadi lebih tegang. Warga berdatangan, ada yang membawa bantuan, ada pula yang menyampaikan duka cita.

Andre menerima surat kaleng yang diletakkan di bawah pintu rumahnya.

> “Berhenti sok pahlawan. Kota ini tidak butuh orang munafik yang mencampur cinta dan sosial demi popularitas. Kembali ke jalurmu sebelum semuanya hangus.”

Gio membacanya dengan tangan gemetar. “Mereka mengancammu, Dre.”

Andre merobek surat itu dengan geram. “Aku gak akan mundur.”

Tapi Gio tahu. Itu bukan tentang mundur atau tidak. Ini soal keselamatan. Rumah baca sudah dibakar. Apa berikutnya klinik mereka? Atau... salah satu dari mereka?

---

Sementara itu, Laras semakin sering merasa sakit. Ia kembali batuk-batuk, dan demam datang silih berganti. Ia meminta Andre menemaninya malam itu.

“Dre… kamu masih ingat surat wasiat yang aku buat?” tanyanya lemah.

“Jangan bicara soal itu, Laras. Kamu akan sembuh.”

“Tapi kalau tidak... aku ingin kamu teruskan impian kita. Rumah baca, klinik, dan... Gio.”

Andre menunduk. Ia tahu maksud Laras.

“Aku sudah tahu sejak lama, Dre… perasaanmu ke Gio itu lebih dari sekadar sahabat. Aku bukan orang suci, tapi aku tahu perasaan tulus saat aku melihatnya. Jangan sia-siakan itu.”

Lihat selengkapnya