Api telah padam. Tapi sisa-sisa bara masih menari di mata orang-orang yang berkumpul malam itu. Rumah baca—yang dulunya menjadi tempat anak-anak tertawa, ibu-ibu belajar menulis, dan remaja menyalurkan aspirasi mereka—kini tinggal puing hangus dan bau arang.
Andre berdiri mematung di depan gerbang besi yang bengkok. Laras menangis dalam diam, wajahnya penuh jelaga, tangannya memegang buku yang setengah terbakar: “Petualangan Si Bintang Kecil.” Buku itu adalah sumbangan pertama dari seorang siswa kecil bernama Dila.
“Kita bisa bangun lagi, Dok,” suara Laras parau. “Tapi entah kenapa malam ini rasanya semua tenaga, semua harapan, ikut terbakar…”
Andre memeluknya erat. Di kejauhan, Gio berdiri dengan wajah penuh amarah. Ia menyimpan rasa curiga yang semakin kuat: ini bukan kecelakaan.
Berita tentang kebakaran rumah baca tersebar cepat. Banyak simpati mengalir, tapi tidak sedikit pula yang justru menuding rumah baca itu terlalu mengganggu.
“Makanya, jangan bikin kegiatan sok-sokan bantu rakyat kecil, nanti dianggap saingan,” bisik Bu Jamilah di warung sebelah, sambil menyeruput kopi hitam.
Laras duduk di ruang tunggu klinik, mengelap air mata sambil membantu pasien-pasien yang tetap berdatangan.
“Apa kita terlalu menonjol, Dok?” tanyanya lirih pada Andre yang duduk tak jauh darinya.
“Bukan kita yang salah. Tapi dunia yang belum siap dengan perubahan kecil dari hati,” jawab Andre dengan tatapan tajam ke luar jendela.
Gio datang membawa berita yang mencengangkan.
“Ada rekaman CCTV dari toko sebelah yang nggak ikut terbakar,” katanya sambil menyerahkan flashdisk.
Andre dan Laras menatap layar. Terlihat dua sosok pria bertopi masuk ke area rumah baca sekitar pukul 1 pagi, membawa jerigen dan sesuatu yang tampak seperti korek.
“Itu bukan anak-anak kampung. Ini kerjaan orang terlatih,” gumam Andre.
Laras menggenggam tangan Andre, “Siapa yang ingin menghancurkan rumah baca kita?”
Gio menatap mereka dalam-dalam. “Mungkin jawabannya bukan siapa… tapi mengapa.”
Surat kaleng datang ke klinik. Ditulis tangan dengan huruf kapital besar dan tinta merah:
Andre menggenggam surat itu. “Ini bukan cuma tentang rumah baca. Ini tentang siapa yang merasa terancam oleh kebaikan kita.”
Laras duduk lemas. Tubuhnya demam lagi. “Aku takut, Dok. Kalau aku kenapa-kenapa…”
“Jangan bicara begitu. Selama aku hidup, aku gak akan biarkan mereka menyentuh kamu.”
Beberapa hari kemudian, saat Andre pulang larut malam dari rumah sakit, ia menemukan amplop di meja makan.
Tulisan tangan Laras: