UNSPOKEN

DENI IRWANSYAH
Chapter #18

BAB 18 Sepuluh Tahun Tanpa Andre

Kantor Kementerian Sosial di ibu kota tampak ramai seperti biasa. Para pegawai berjalan tergesa, sebagian menunduk pada layar laptop, sebagian lagi tenggelam dalam tumpukan berkas yang harus segera diselesaikan. Di ruangan lantai empat, tepat di bawah lampu neon putih yang dingin, duduk seorang pria berjas rapi, menatap lurus layar komputer tanpa emosi—Gio.

Namanya kini lebih lengkap dikenal sebagai Giovanni D. Mulyawan, analis kebijakan bidang sosial, lulusan terbaik dari program magister luar negeri. Wajahnya masih sama, hanya saja kini lebih tegas, rahangnya lebih kokoh, dan matanya... kosong. Sudah satu dekade ia meninggalkan kota kelahirannya. Satu dekade sejak ia terakhir menginjakkan kaki di tempat kenangan bersama Andre dan Laras.

Namun hari-harinya kini bukan tentang masa lalu. Hari-harinya kini adalah agenda rapat, memo dinas, kebijakan bantuan sosial, dan laporan evaluasi. Tak ada ruang untuk memori. Tak ada celah untuk nostalgia. Baginya, yang lalu biarlah berlalu.

“Pak Gio, rapat dengan Dirjen jam 10. Slide presentasi sudah saya kirim ke email,” kata sekretarisnya.

Gio mengangguk pelan. “Terima kasih, Rika. Pastikan semua data penerima bansos valid ya, saya nggak mau ada laporan fiktif seperti minggu lalu.”

“Iya, Pak.”

Setelah sekretarisnya keluar, Gio menghela napas panjang. Ia menatap secarik foto kecil di dalam laci mejanya—foto keluarganya saat ia masih SMA. Tak ada Andre di sana, tentu. Sudah lama sekali Gio berhenti mengingat wajah Andre secara utuh. Bahkan senyum Andre pun mulai kabur dalam benaknya. Sesekali mungkin ia masih ingat gelak tawa itu, tapi lebih sebagai gema samar yang tak berwujud.

Ia memejamkan mata.

Tiba-tiba bayangan rumah baca yang pernah mereka bangun bersama muncul sekelebat. Rumah kecil sederhana yang menjadi tempat anak-anak membaca, belajar, bercanda. Tempat yang pernah mereka cat dengan warna biru cerah, tempat Laras pernah membacakan dongeng, tempat Andre sering duduk berjam-jam mengajari anak-anak berhitung. Tempat itu... yang kini tinggal puing-puing dan sejarah.

“Laras meninggal…”

Kata-kata itu dulu menghantam Gio seperti palu godam. Ia ingat betul bagaimana ia hanya bisa memandangi layar ponsel saat menerima kabar itu. Ia tidak pulang. Ia terlalu tenggelam dalam ambisinya, dalam pelarian yang ia ciptakan sendiri. Padahal Andre saat itu sangat butuh seseorang di sisinya.

Tapi, Gio memilih diam.

Kini, sepuluh tahun berlalu. Ia bahkan tidak pernah sekalipun menghubungi Andre. Tidak tahu apakah pria itu masih tinggal di kota yang sama. Tidak tahu apakah rumah baca itu pernah dibangun kembali. Tidak tahu, dan tidak pernah benar-benar ingin tahu.

Baginya, kenangan adalah beban. Dan ia sudah cukup lelah membawa beban yang tidak akan pernah kembali.

Sementara itu di kota kecil tempat semuanya bermula…

Andre menatap halaman rumah baca yang kini ditumbuhi rumput liar. Sejak Laras tiada, dan Gio pergi, rumah baca itu seperti kehilangan rohnya. Ia sudah berusaha membangunnya kembali. Bahkan sudah sempat mengadakan kegiatan mingguan bersama anak-anak desa, tapi semangat itu tidak sama. Sesuatu terasa hilang.

Tiap malam ia masih duduk di sana, membuka kembali buku-buku lama, beberapa bahkan masih ada coretan tangan Laras di sudut halaman. Ada juga satu buku yang isinya penuh dengan gambar-gambar kecil yang dulu digambar Gio untuk menghibur anak-anak. Kadang ia tersenyum. Kadang ia menangis. Tapi yang pasti, ia tetap bertahan.

“Pak Andre,” sapa seorang remaja perempuan.

“Iya, Dea. Sudah selesai belajar?”

“Iya, Pak. Tapi tadi pas baca buku dongeng, saya nemu ini di rak bawah…” Dea menyerahkan secarik kertas usang.

Andre membukanya. Itu adalah puisi. Tulisan tangan Gio. Ia hafal betul bentuk hurufnya yang khas—tajam, sedikit miring ke kanan, dan cenderung berantakan.

Air mata Andre menggenang.

“Pak Andre kenapa?” tanya Dea polos.

Andre menggeleng sambil tersenyum. “Enggak, Pak cuma terharu.”

Kembali ke Jakarta…

Di tengah kesibukan, sebuah undangan elektronik masuk ke email Gio. Awalnya ia mengabaikan. Tapi ketika ia membaca isinya, jantungnya berdegup tak karuan.

Undangan Reuni Rumah Baca “Cahaya Kecil” – 10 Tahun Perjalanan dan Harapan

Tuan rumah: Andre Saputra

Tanggal: Sabtu, 22 Agustus

Tempat: Lokasi lama rumah baca, Jalan Kenanga No. 10

Gio diam. Tangannya gemetar. Tiba-tiba perasaan aneh muncul di dadanya. Seperti... ada sesuatu yang belum selesai. Ada satu bagian hidup yang tertinggal di masa lalu. Ia ingin menghapus email itu. Ia ingin menganggap itu hanyalah gangguan. Tapi jarinya tak bisa menekan tombol delete.

Malamnya, ia membuka kembali kotak kecil di bawah tempat tidurnya—kotak yang sejak dulu tidak pernah ia buka. Di dalamnya ada kartu ucapan ulang tahun dari Andre bertahun-tahun lalu, foto mereka bertiga bersama Laras, dan secarik kertas bertuliskan:

Gio memejamkan mata.

Untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun... ia menangis.

Lihat selengkapnya