UNSPOKEN

DENI IRWANSYAH
Chapter #19

BAB 19 Sepucuk Surat dan Sebuah Harapan

Farel menatap foto usang itu lama. Gambar dua pemuda berdiri berdampingan di depan rumah baca, senyum mereka mengembang penuh harapan. Di latar belakang, Laras duduk di bangku kayu, memegang buku, menatap dua sahabatnya dengan pandangan penuh arti. Waktu seolah berhenti dalam potret itu.

“Ini… Andre ya?” bisik Farel, jemarinya menyentuh debu yang melekat di permukaan kaca pigura. Ia menoleh ke arah Andre yang sedang menyusun tumpukan buku sumbangan dari relawan hari ini.

Andre menoleh. “Itu foto waktu rumah baca pertama kali diresmikan.”

Farel mengangguk pelan, lalu duduk di tepi ranjang Gio yang kini kosong dan hanya berisi kenangan. “Gio benar-benar sudah tidak pernah menghubungimu sejak pergi, ya?”

Andre hanya tersenyum. “Dia sudah punya jalannya sendiri. Dia hebat sekarang. Sudah jadi bagian dari pemerintah pusat. Aku… tetap di sini. Di tempat yang ia tinggalkan.”

Sementara itu di kota besar yang jauh dari tempat rumah baca berdiri, Gio duduk di ruang kerjanya yang luas, dinding kaca memperlihatkan pemandangan gedung-gedung tinggi dan lalu lintas padat. Laptop, dokumen, dan ponsel memenuhi mejanya. Setiap hari adalah jadwal rapat, presentasi, dan kebijakan baru yang harus ditandatangani.

Namanya kini dikenal banyak orang, muncul di berita, disanjung sebagai pejabat muda paling berpengaruh dalam program literasi nasional. Tapi, di balik semua itu, ada ruang kosong yang tak pernah diisi.

Suatu sore, saat pulang lebih awal dari biasanya, Gio membuka laci kecil di rak bukunya. Di sana, tersimpan rapi sebuah jurnal kulit berwarna cokelat tua—jurnal yang pernah ia tulis semasa mendampingi Andre dan Laras membangun rumah baca.

Tangannya gemetar saat membalik halaman pertama.

"Hari ini, Andre bilang dia ingin rumah baca ini hidup selamanya. Aku cuma senyum. Dalam hati, aku ingin rumah ini tetap hidup... dan kami bertiga tidak akan pernah berubah."

Gio mengatupkan jurnal itu erat. Untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir, ingatannya tentang Andre dan Laras menyeruak kembali. Ia bangkit dari kursinya. Malam itu juga, ia membeli tiket pulang.

Di rumah baca, Andre dan Farel sedang merancang program "Buku untuk Anak Daerah"—program terbaru hasil kerja sama mereka dengan beberapa komunitas lokal. Anak-anak desa berdatangan, berlari-lari kecil di lorong rumah baca yang dipenuhi warna-warni mural.

Andre duduk di teras, menatap langit senja. Di sampingnya, Farel membuka kotak lama berisi buku-buku kenangan, di antaranya beberapa catatan tangan Laras yang dulu suka membuat puisi.

“Kadang aku berpikir, rumah baca ini lebih hidup dari rumah-rumah mewah di kota,” gumam Andre.

Farel tersenyum. “Karena di sini ada cinta. Ada kenangan.”

Saat itulah sebuah mobil berhenti di halaman. Seorang pria berpakaian rapi keluar, koper di tangan, mata menyapu sekeliling seolah mencari sesuatu yang lama hilang.

Andre berdiri. Pandangannya terkunci.

“Gio?”

Gio melangkah perlahan. “Aku… pulang.”

Hening.

Tak ada pelukan. Tak ada tangis. Hanya mata yang saling berbicara. Bertahun-tahun rasa yang tertahan, luka yang tak pernah sembuh, dan pertanyaan yang belum terjawab semuanya berputar dalam diam.

Malam harinya, mereka duduk di beranda rumah baca. Tiga cangkir kopi tersaji. Satu dibiarkan kosong, sebagai penghormatan untuk Laras.

“Aku kira aku bisa melupakan semua ini,” kata Gio pelan. “Tapi ternyata, setiap langkah yang aku ambil… malah membawaku kembali ke sini.”

Lihat selengkapnya