Andre terdiam sejenak, menatap wajah Gio yang kini tampak jauh berbeda dari sepuluh tahun lalu. Wajah itu masih sama, tapi garis-garis lelah mulai terlihat, dan senyumnya kini tak secerah dulu. Tapi di balik itu semua, ada sesuatu yang tetap utuh—tatapan yang dulu selalu membuat Andre merasa dihargai dan dimengerti.
Gio mendekat, duduk di sebelah Andre di beranda rumah baca yang kini sudah jauh lebih rapi dan penuh warna dari pertama kali mereka dirikan bersama Laras dan Farel. Suara anak-anak dari dalam ruang baca masih terdengar, tawa kecil yang riuh bersahutan dengan suara buku dibalik.
"Aku ingin ngajak kamu buat bangun klinik sosial kayak dulu kita rencanakan bareng Laras," kata Gio perlahan. "Aku udah simpan semua dokumen perencanaan dari dulu. Waktu itu Laras sempat email aku file-nya. Aku... aku gak pernah buka lagi. Sampai kemarin."
Andre menarik napas panjang. Ada perasaan haru yang mendadak menghujam dadanya. Nama Laras kembali disebut—seperti luka lama yang perlahan sembuh tapi selalu terasa kalau disentuh.
"Masih mau lanjutkan itu, Gio?" tanya Andre, suaranya serak.
Gio mengangguk pelan. "Sekarang aku lebih paham soal sistem. Aku udah bertahun-tahun kerja di bidang pemerintahan. Aku tahu jalur bantuan, tahu cara negosiasi dengan dinas, tahu cara bikin program sosial bisa berkelanjutan. Tapi aku... aku nggak punya tempat dan orang yang kupercaya buat mulai. Sampai akhirnya aku lihat lagi foto kamu kemarin. Waktu beresin kamarku... aku nemu foto kita bertiga, kamu, aku, dan Laras di depan rumah baca ini. Aku sadar, ini rumah kita."
Andre menunduk. Tangannya mengusap pelan gelas teh di depannya.
"Kalau kamu izinkan, aku mau mulai semuanya lagi dari sini. Kita gabungkan rumah baca dengan klinik sosial. Farel bisa tetap jadi bagian, kamu tetap di sini sebagai pengelola utama. Aku bantu dari sisi birokrasi dan program."
Andre tersenyum tipis. "Jadi kamu gak ngajak jalan-jalan atau healing ke pantai nih?"
Gio tertawa kecil. "Nanti juga ke pantai. Tapi sekarang, aku mau healing-nya bareng kamu, bareng rumah ini. Kalau kamu izinkan."
Hening sesaat. Angin sore menyapu rambut mereka pelan. Di langit, awan tipis berarak dan sinar matahari mulai melembut, menandai akan datangnya senja.
"Kamu tahu, Gio," ucap Andre pelan, "rumah ini kosong sepuluh tahun, tapi aku gak pernah merasa sendiri. Farel tetap di sini, anak-anak tetap datang, dan Laras... dia seolah tetap hidup di antara rak buku itu. Tapi sekarang... aku merasa penuh. Karena kamu balik lagi."
Gio menatap Andre. Matanya berair, tapi dia tersenyum. "Aku janji, aku gak akan hilang lagi. Kalau kamu izinkan, aku ingin mulai babak baru hidupku dari sini. Sama kamu."
Mata Andre ikut memerah. Ia mengangguk pelan.
"Kalau begitu," ucapnya, bangkit berdiri, "besok kita mulai susun ulang ruang belakang buat ruangan konsultasi. Kita hubungi teman-teman Laras di komunitas kesehatan. Kita bikin tempat ini hidup, bukan cuma buat baca, tapi buat sembuh."
Gio berdiri, dan untuk pertama kalinya sejak sepuluh tahun lalu, mereka berdua berdiri berdampingan lagi, bukan sebagai masa lalu yang belum selesai, tapi sebagai masa kini yang siap membangun kembali harapan.
Keesokan harinya, rumah baca penuh dengan energi baru. Farel ikut membantu menyusun rak baru, sementara anak-anak yang biasa membaca mulai penasaran dengan kegiatan baru yang akan dibuka. Gio duduk di depan laptopnya, menyusun proposal kerja sama dan program sosial berbasis kesehatan anak dan keluarga.