UNSPOKEN

DENI IRWANSYAH
Chapter #22

BAB 22 SINTIA

Sepuluh bulan setelah kepergian Andre, kantor Kementerian tempat Gio bekerja seperti berubah nuansa. Ia lebih banyak diam, tenggelam dalam tumpukan dokumen, dan tak lagi menanggapi candaan rekan kerjanya. Semua tahu—Gio sedang mencoba berdamai dengan masa lalu.

Namun pada suatu Senin pagi yang tak terlalu cerah, langit Jakarta mendung dan kantin kantor kehabisan kopi—seseorang muncul di pintu lift lantai 12, tempat divisi tempat Gio bekerja.

“Permisi, saya mau bertemu Pak Gio. Saya Sintia, staf baru bagian komunikasi,” katanya dengan suara yang renyah.

Gio mengangkat wajahnya dari laptop dan hampir menyemburkan kopi sisa di mulutnya.

Wanita itu—dengan blazer abu-abu, high heels warna nude, dan wajah seperti tokoh utama drama Korea—berdiri di sana dengan percaya diri. Wangi parfumnya mahal, gaya bicaranya santai, tapi sorot matanya tajam.

“Gio, ya?” Sintia mengulurkan tangan. “Dengar-dengar kamu ini andalan kementerian?”

Gio mengangkat alis. “Kalau kamu dengarnya dari Bu Ningsih bagian kepegawaian, abaikan. Dia suka lebay.”

Sintia tertawa. “Noted.”

---

Tiga minggu bekerja bersama, Sintia mulai mengubah warna harian Gio. Kalau dulu ia pulang kantor seperti zombie, sekarang dia bisa pulang sambil senyum-senyum sendiri.

“Aku yakin kamu dulunya anggota boyband, deh,” kata Sintia saat melihat foto masa muda Gio yang masih ‘ke-Korean-Korean-an’.

“Eh kamu tahu nggak,” balas Gio, “dulu aku pernah punya fans di SMA. Namanya Andre.”

Sintia menoleh cepat. “Oh ya? Kok namanya laki-laki?”

Gio nyengir. “Yah, masa lalu itu seperti nasi goreng basi. Kalau terus dihangatkan, bisa bikin sakit perut.”

Sintia tertawa ngakak. “Aduh analogimu ngaco banget sih.”

----

Gio tahu, hidup tak bisa terus bergantung pada kenangan. Saat mereka harus bekerja lembur untuk acara kementerian, Gio dan Sintia sering saling tukar cerita. Tapi Sintia tidak pernah bertanya terlalu dalam tentang masa lalu Gio.

“Saya nggak peduli kamu dulu gimana,” kata Sintia suatu malam. “Yang penting, sekarang kamu baik. Kadang hidup itu kayak naik MRT, kita harus tahu kapan harus turun dan pindah jalur.”

Gio mengangguk pelan. “Kalau aku tetap naik jalur yang lama?”

“Ya kamu akan muter-muter terus sampai pusing sendiri,” kata Sintia sambil mengedipkan mata.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Gio membuka hati sepenuhnya.

---

Setahun setelah perkenalan itu, di sebuah taman kota penuh lampu gantung dan musik jazz ringan, Gio duduk di hadapan Sintia.

“Dulu aku pernah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak membuka hati lagi,” kata Gio pelan. “Tapi sejak kamu masuk hidupku, aku sadar... kadang kita harus belajar jatuh cinta lagi, tapi kali ini, dengan cara yang benar.”

Lihat selengkapnya