UNSPOKEN

DENI IRWANSYAH
Chapter #23

BAB 23 SATU HATI DUA DUNIA

Sudah dua bulan berlalu sejak kepergian Andre. Gio belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan, tapi ia memaksa dirinya untuk bangkit. Rutinitas di kantor kementerian membuat pikirannya tetap sibuk, tapi di balik tumpukan dokumen dan rapat tak berkesudahan, ada ruang kosong yang tak bisa terisi.

Suatu hari, saat hujan deras melanda Jakarta dan sebagian staf sudah pulang lebih awal, Gio masih sibuk mengetik laporan. Ia baru saja menyeduh kopi saat pintu ruangannya diketuk. Seorang perempuan berdiri di sana, basah kuyup, rambutnya lepek tapi senyumnya tetap segar.

“Pak Gio, ini data yang tadi Bapak minta,” katanya.

Gio mendongak. “Kamu siapa ya?”

“Sintia. Staf baru di bagian perencanaan. Baru seminggu ini saya masuk.”

“Oh. Masuklah, kenapa kehujanan begitu?”

“Naik ojek, Pak. Macet total. Tapi gapapa, saya suka hujan,” katanya sambil tertawa kecil.

Gio menatapnya sejenak. Ada sesuatu yang mengingatkannya pada Andre—bukan rupa, tapi semangat hidup. Namun ia cepat-cepat mengalihkan perhatian. Ia harus belajar melihat hidup ke depan.

Beberapa hari kemudian, Sintia kembali mendatangi ruangannya.

“Pak Gio, ini saya bawakan bakmi. Tadi lihat Bapak belum makan siang. Jangan-jangan kerja mulu sampe lupa lapar.”

Gio tertawa kecil. “Kamu ini, ngurusin atasan?”

“Bukan ngurusin, Pak. Tapi kan kita kerja bareng. Lagian... Bapak kayaknya butuh temen ngobrol.”

Gio sempat terdiam. Ia menatap wajah Sintia yang polos, ceria, dan blak-blakan. Rasanya seperti disiram air dingin yang menyegarkan.

“Terima kasih ya, Sintia,” katanya pelan.

Sejak hari itu, hubungan mereka makin dekat. Mereka sering makan siang bareng, saling kirim meme lucu di grup kantor, bahkan sempat tertangkap kamera CCTV sedang tertawa bareng di pantry. Gosip pun mulai beredar.

“Pak Gio, itu masa lalu, kan?” tanya Sintia suatu sore saat mereka menunggu lift.

“Masa lalu yang mana?”

“Yang katanya... ya, gitu deh.” Sintia menunjuk pelan ke arah dada Gio. “Bapak pernah punya... yang bukan saya.”

Gio menatapnya lama. Ia tersenyum kecut.

“Iya. Tapi itu sudah selesai.”

“Dan Bapak siap buka lembaran baru?”

Gio tertawa. “Kamu ini suka nanya kayak reporter.”

“Ya, soalnya Bapak kayak tokoh utama di drakor. Serius, cool, tapi hati kayak es batu. Perlu dicairkan dulu.”

Gio tertawa makin keras.

Hari demi hari, Gio merasa hidupnya mulai berubah. Ia bisa tersenyum tanpa beban. Ia bisa tertawa tanpa merasa bersalah. Dan yang paling penting, ia mulai merasa... utuh.

Sampai suatu hari, saat matahari mulai tenggelam di balik gedung tinggi ibu kota, Gio memberanikan diri mengirim pesan singkat:

“Sintia, mau makan malam bareng? Aku pengen ngobrol. Tentang kamu. Tentang kita.”

Lihat selengkapnya