Untuk Hati yang Sekarat

princess bermata biru
Chapter #25

Pesimisme Seorang Anti-natalitas

Bayangan wanita bergaun merah darah itu memenuhi pikirannya. Calvin bertindak di luar pikiran bawah sadar. Dia berlari ke beranda, mencari-cari perempuan itu. Kedua iris kecoklatannya menatap menembus kegelapan malam, berharap masih bisa menemukan perempuan itu di balik jajaran mobil mewah yang terparkir di carport. Nihil, tak ada tanda apa pun tentang kehadiran perempuan itu.

“Alea! Alea!” panggilnya putus asa.

Optimis dan pesimistik bergumul di benaknya. Mereka berperang, berusaha mendoktrin Calvin dengan keyakinannya masing-masing. Si pikiran optimistik memaksanya mencari keberadaan Alea. Membuat Calvin yakin bahwa ada secercah harapan kalau istrinya masih hidup. Sedangkan, pikiran pesimistik menyuruhnya menyerah dan melupakan Alea.

Mungkin perempuan itu memang tak ada. Bisa saja sosok bergaun merah hanyalah kamuflase sebab Calvin menginginkan kehadiran Alea di pesta ulang tahun Jose. Ada kemungkinan bayangan itu adalah semacam peniruan figur Alea yang dibuat oleh penghuni dimensi lain. Penunggu rumah ini ingin menakut-nakuti Calvin.

Kemana perempuan bergaun merah darah itu? Calvin benar-benar dibuat penasaran olehnya. Parasnya mirip sekali dengan Alea. Dan, Calvin tahu betul istrinya tak punya saudara kembar. Mustahil bila ada dua orang berwajah amat mirip di dunia ini tanpa ikatan darah. Kalau bukan Alea, siapakah perempuan itu? Benarkah istrinya masih hidup? Berarti, jasad yang terkubur di San Diego Hills bukanlah Alea.

Calvin menjambak rambutnya frustrasi. Belum pernah dia kehilangan kontrol diri seperti ini. Kakinya melangkah memutari mobil-mobil, mencari di sudut halaman, dan berbelok ke kolam renang di halaman belakang. Perempuan bergaun merah sama sekali tak meninggalkan jejak. Teka-teki ini membuatnya dihantam rasa penasaran berlebihan.

Sudah tiga kali Calvin memutari halaman rumahnya. Perlukah ia mengambil mobil dan berkeliling mencari Alea? Persetan dengan pesta ulang tahun. Jose akan dijaga Silvia.

Silvia? Detik berikutnya, Calvin bagai tersengat listrik. Apa yang telah ia lakukan? Gadis rambut mahoni itu pasti bersedih dengan kelakuan calon suaminya. Bisa-bisanya Calvin memikirkan kemungkinan yang belum pasti sementara di dalam sana ada calon istri yang menunggunya.

Dia sesali kebodohannya. Namun, lagi-lagi ia disekap perang batin berkepanjangan. Benarkah Alea masih hidup? Ia harus menuntaskan rasa penasarannya. Tak mungkin ia menikahi Silvia sebelum rasa penasaran ini selesai. Bagaimana bila Alea benar-benar masih hidup? Apa yang harus dikatakannya pada Silvia?

“Ayah, Ayah. Ngapain Ayah di sini?”

Jose berlari-lari menyusulnya. Jas merahnya berkibar ditiup angin malam.

“Sayangku, maaf tiba-tiba Ayah pergi.” Calvin berlutut, mensejajarkan tingginya dengan bocah ganteng itu.

“Ayo kita masuk, Ayah. Ayah cari apa, sih?”

“Ayah nggak cari apa-apa. Masuk, yuk.”

Tanpa curiga, Jose berjalan di sisi ayahnya memasuki ruang tamu. Keriuhan pesta masih terasa. Para tamu berbisik-bisik sambil melempar pandang bingung ke arah Calvin. Hati Calvin ditumbuhi tanda tanya: apakah para tamu melihat Alea? Dari gelagatnya, sepertinya mereka tidak melihat Alea sama sekali.

Silvia hanya diam saat dia kembali. Tatapannya kosong, wajahnya murung, dan lengannya terlipat. Rasa bersalah berdenyut-denyut di udara. Calvin menyesal telah membuat Silvia sedih. Gadis itu pastilah sakit hati dan merasa tak aman karena calon suaminya masih mencari-cari mendiang istrinya.

“Bunda kenapa? Bunda sakit?” tanya Jose perhatian. Dia berjinjit dan memegang kening Silvia.

“Nggak, Sayang. Cuma kecapekan aja mungkin,” kilah Silvia lembut.

“Kalo gitu, Bunda menginap saja di sini. Bunda nggak usah pulang ke rumah.” Jose mengusulkan, penuh harap.

“Jose benar, Via. Menginaplah di sini. Kamu bisa pilih kamar mana saja di lantai atas.”

Silvia mengangguk lemah. Ia enggan menatap mata Calvin. Rasa takut menggelenyar di hati. Takut ia akan menemukan pancaran cinta yang dalam untuk Alea di mata sipit itu.

Usai pesta, ketiganya naik ke lantai atas. Jose dan Calvin sibuk membuka kado dari para tamu undangan. Silvia minta izin memakai toilet tamu untuk berganti pakaian.

“Wah, kado-kadonya banyak banget,” ujar Jose riang, membuka tumpukan kado dengan antusias.

“Iya, Sayang. Banyak yang sayang sama kamu.”

“Wow, Ayah kasih aku iPad baru? Makasih, Ayah.”

Selain iPad, hadiah-hadiah lainnya tak kalah memuaskan. Jose mendapat arloji emas, mobil-mobillan keluaran terbaru, robot-robotan, konsol game, buku bacaan, action figure tokoh kartun kesukaannya, coklat Swiss, sekotak besar permen, dan miniatur Menara Eiffel. Ada satu kado terakhir yang belum dibuka. Kado itu terbungkus kertas berwarna biru dengan hiasan berbentuk baju di bagian atasnya. Tak ada nama pengirim.

“Ini dari siapa, ya?” tanya Jose, menimang-nimang kado itu.

“Buka aja. Siapa tahu, nama pengirimnya ada di dalam.”

Jose menuruti saran ayahnya. Dirobeknya kertas pembungkus kado. Sepasang sepatu basket meluncur keluar. Jose melonjak kegirangan. Ini sepatu yang sangat diinginkannya. Minggu lalu, ia melihat sepatu itu di mall saat jalan-jalan dengan Calvin. Saat sang ayah akan membelikan, ia keburu dipanggil ke kantor karena ada klien bisnis yang datang jauh-jauh dari Jepang.

“Ini dari Ayah, ya?” tebak Jose senang.

Lihat selengkapnya