Untuk Hati yang Sekarat

princess bermata biru
Chapter #27

Sedih Tak Berujung

Tak ada tamu, tak ada agenda rapat, dan tak ada pertemuan bisnis di luar kantor. Silvia menghela napas panjang. Apa maunya Calvin? Hari ini, dia mengunci diri di ruang kerja. Tegas meminta Silvia menolak kunjungan tamu. Hanya Silvia yang boleh masuk ke ruangannya.

Para kolega bisnis kelabakan. Mendadak Calvin susah sekali dihubungi. Pria itu menonaktifkan ponselnya. Telepon yang tersambung ke extension ruangannya harus melewati Silvia. Dan, gadis itu tak berani menuruti perintah langsung atasan sekaligus calon suaminya.

Calon suami? Silvia menggigit bibir bawahnya kelu. Masih pantaskah ia menganggap Calvin seperti itu? Bagaimana kalau Alea benar-benar masih hidup? Biar bagaimana pun, Alea masih sah istri Calvin. Tak ada kata talak di antara mereka. Alea punya hak atas Calvin seandainya dia masih bernapas.

Jemari Silvia tertumpu di kibor komputer. Belum sempat ia mengetikkan kata kunci di mesin pencari, terdengar langkah-langkah berat di sudut. Seorang pria berperut gendut, berkepala botak, dan memakai jas yang agak kekecilan untuk ukuran tubuhnya, berjalan berat ke depan meja Silvia. Pasti tamu lagi, pikir Silvia letih.

“Apa Pak Calvin ada di ruangannya?” tanya pria itu tanpa menyapa lebih dulu.

“Maaf, Pak, Pak Calvin sedang tidak mau diganggu,” jawab Silvia sopan.

“Enak aja saya dibilang pengganggu! Saya klien bisnisnya, tau! Kamu, sekretaris bau kencur, tau apa?” Si bapak gendut melayangkan komplain.

Kesabaran Silvia sudah sampai di ujung. Menjaga suaranya tetap ramah, gadis itu berujar.

“Pak Calvin menolak kunjungan semua tamu hari ini. Tapi, kalau Bapak mau titip pesan, akan saya sampaikan.”

“Nggak usah! Biar lain kali saya temui dia! Dasar anak muda! Semangatnya angin-nginan!”

Setelah mengumpati Calvin, bapak itu bergegas pergi. Silvia mendesah pasrah, menyandarkan punggung di kursinya. Ia lelah jiwa-raga menghadapi tamu-tamu yang datang dan pergi mencari Calvin. Bibirnya sudah kebas mengucapkan puluhan kali bahwa calon suaminya tak bisa diganggu.

Ia teringat hendak browsing. Jari-jarinya berlari, mengetikkan beberapa kata. Selang beberapa detik, muncullah informasi yang diinginkannya.

“Berita kematian Alea,” gumam Silvia, matanya bergulir cepat membaca teks di layar.

Dalam berita yang dibacanya, ia memperoleh sepotong informasi. Alea meninggal karena kecelakaan mobil dalam perjalanan pulang dari Semarang menuju Bandung. Mobil terbakar dan para penumpangnya tewas terpanggang. Demi menghormati Alea, pameran kain tenun pewarna alam dari beberapa brand wirausaha sosial terus diadakan secara rutin. Di sebuah portal koran, Silvia juga menemukan obituari yang ditulis Calvin untuk Alea setahun lalu.

Denyut aneh apa ini? Mengapa ia cemburu saat membaca tiap kata yang diguratkan Calvin untuk Alea? Tanpa sadar, Silvia menyeka mata.

**   

Di ruang kerjanya, Calvin tengah sibuk. Bukan sibuk mengevaluasi laporan atau menyusun strategi untuk memajukan perusahaan, tetapi sibuk mengobrak-abrik map biru tebal berisi berkas yang dibawanya dari rumah. Sengaja ia bawa berkas penting itu ke kantor agar tidak ketahuan Jose. Map berkas itu berkaitan dengan kematian Alea.

Dokumen pertama berisi akta kematian Alea. Calvin sendiri yang mengurusnya, mengingat Oma Moerti dan Opa Laurel sudah terlalu uzur untuk melakukan itu. Mengurus akta kematian bagi etnis minoritas sekarang ini tidak sesulit dua puluh tahun lalu. Zaman ketikaa negeri ini masih dikuasai rezim Orde Baru, orang-orang seperti Calvin harus mengeluarkan banyak uang hanya untuk mengurus surat-menyurat.

Lembar kertas kedua berisi surat kematian yang dikeluarkan pihak rumah sakit. Di sana tertera nama, tanggal, dan waktu kematian. Tertulis pula nama dokter yang menangani korban kecelakaan. Nah, inilah yang kuperlukan, Calvin bersorak dalam hati. Segera ditekannya sejumlah nomor telepon.

“Halo, bisa bicara dengan Dokter Carlina Susanto?” sapa Calvin begitu telepon diangkat.

“Baik. Mohon ditunggu.”

Tangan Calvin berkeringat dingin saat menutup map. Peduli amat dengan dokumen-dokumen lainnya. Tepat ketika ia menyingkirkan map biru ke tepi meja, terdengar suara alto seorang perempuan di seberang sana.

“Halo, selamat siang.”

“Selamat siang. Dengan Dokter Carlina?”

“Iya saya sendiri, ada yang bisa saya bantu?”

Mulailah Calvin memperkenalkan diri dan tujuannya. Dokter Carlina menyimak dengan penuh perhatian.

“Apa Anda ingat bagaimana persisnya jenazah istri saya? Karena ketika saya menerimanya, jenazah itu telah dikafani dan siap dishalatkan, jadi tak mungkin membukanya lagi.”

“Pak Calvin, jenazah istri Anda penuh luka bakar. Saya tak bisa mengenali dari wajahnya. Tapi, saya yakin kalau itu adalah istri Anda dari bentuk tulang, susunan gigi, dan DNA.” Dokter Carlina memaparkan temuannya setahun lalu.

“Jadi, Anda yakin kalau istri saya memang sudah meninggal?” Calvin memastikan, harapannya perlahan meredup.

“Iya. Saya yakin seratus persen.”

Bunga harapan menguncup lagi. Buru-buru Calvin mengingatkan diri sendiri. Alea sudah tiada. Silvia adalah masa depannya. Ia harus bangkit dan belajar untuk tidak menoleh ke belakang lagi. Pembicaraannya dengan Dokter Carlina makin memantapkan hati Calvin untuk menikahi gadis berambut mahoni.

Setelah menutup telepon, Calvin melangkah ringan menuju meja Silvia. Didapatinya gadis itu sedang menangis.

“Via, kenapa kamu menangis?” tanya Calvin khawatir, membungkukkan tubuh untuk melihat wajah gadisnya lebih jelas.

Lihat selengkapnya