“Tegakkan keadilan untuk buruh seperti kami!”
“Rawat teman kami sebaik-baiknya!”
“Perbaiki peralatan pabrik!”
“Naikkan gaji kami!”
Ratusan buruh berseragam biru laut berteriak-teriak, mengacungkan spanduk kumal, dan melempari jendela pabrik dengan kerikil. Jose menghela napas, lelah dengan demo buruh yang telah berlangsung selama tiga hari.
“Tak bisakah mereka berhenti?” Ia bertanya pada sekretarisnya.
“Mereka akan berhenti kalau pihak perusahaan sudah bertanggung jawab,” tutur sang sekretaris, sama letihnya.
Jose mengusap wajahnya kebas. “Saya, ‘kan sudah tanggung jawab. Seluruh biaya perawatan teman mereka yang kecelakaan sudah saya bayar. Dia juga dapat santunan dan cuti sakit selama proses pemulihan.”
“Bukan hanya itu. Mereka juga menuntut perbaikan mesin pabrik, penyelidikan, dan kenaikan gaji. Oh ya, belum lagi ada isu ....”
“Isu apa?”
Si sekretaris bohai menoleh kesana-kemari, memastikan tak ada yang lewat di koridor pabrik. Koridor itu kosong.
“Isu kalau perusahaan mengalami pailit.”
Mau rasanya Jose kembali menjadi anak kecil. Problem mengurus jaringan bisnis milik ayahnya rumit sekali. Demo buruh pabrik, isu perusahaan pailit yang tidak valid, dan mesin pabrik yang dirusak. Itu baru satu lini bisnis, bagaimana dengan anak perusahaan lainnya?
Hanya satu yang dibutuhkan Jose saat ini: ayahnya. Ayah Calvinlah satu-satunya yang bisa membuatnya tenang. Hatinya berdenyut oleh penyesalan karena belum sempat pulang untuk mengecek kondisi ayahnya. Saat ia mencoba menelepon Ayah Calvin, nomornya tidak aktif. Begitu pula ketika dia menghubungi Firli. Jose tak curiga. Pikiran positifnya mengatakan, mungkin saja ponsel mereka sama-sama kehabisan baterai atau semacamnya.
Sepuluh kilometer dari pabrik, tepatnya di sebuah studio foto, Liza sedang berkumpul dengan timnya. Mereka sedang mendiskusikan strategi promosi untuk buku kumpulan esai dan foto yang mereka buat.
“Jadi, She mau kita jual dengan harga berapa?” Liza menanyai anggota timnya. Ia bersikap bijak dengan mendengarkan aspirasi mereka.
“Tiga ratus ribu,” usul seorang wanita dengan rambut dicat warna pirang.
“Ah, terlalu murah. Nggak sebanding sama kualitas foto dan usaha kita.” Temannya, si rambut ekor kuda, tak setuju.
“Gimana kalo tiga ratus lima puluh?”
“Jangan, jangan. Tiga ratus tujuh puluh lima ribu aja.”
Sebelum menjadi debat kusir, Liza menengahi. Diajaknya mereka semua voting. Pilihan dengan suara terbanyak, itulah yang akan menang.
“Tiga ratus tujuh puluh lima ribu! Horeee!” sorak si rambut ekor kuda.
Tiga hari terakhir, Liza disibukkan dengan proyek besar pembuatan buku foto story bertajuk ‘She’. Buku itu berisi kumpulan foto para perempuan tangguh dari seluruh Indonesia dengan berbagai latar belakang profesi dan budaya. Liza sampai harus menginap di studio untuk penggarapan video promosi part satu dan dua, menentukan strategi promosi, serta meeting lima sampai enam kali sehari dengan orang-orang penting yang berpotensi membesarkan proyeknya.
Setelah menyelesaikan urusan proyek buku She, Liza merasa sangat lelah. Ia rindu rumah. Alih-alih rumah mungil di kaki bukit milik orang tuanya, Liza justru ingat rumah lain yang ditempati seorang ayah. Ayah sahabatnya. Ayah Calvin.
Tergerak hati Liza untuk meluncur ke Dago Pakar. Rasa bersalah mengendap di hati. Saking sibuknya, ia lupa mengecek kondisi Ayah Calvin sewaktu-waktu. Benar-benar tak ada waktu kosong selama tiga hari ke belakang.
Liza memesan taksi. Ia malas menyetir. Kurang dari satu jam, ia telah sampai. Tak sabar ia turun dari mobil. Sepasang kaki jenjang bersepatu mahal itu menapaki halaman depan.
Rumput di halaman meninggi, menandakan berhari-hari tak dipotong. Tanaman meranggas. Bebungaan mulai layu. Liza memendam curiga. Kemana bibi pengurus rumah? Mengapa Firli tak terpikir mengurus halaman? Bukankah dia tinggal di sini selama tiga hari?