Dalam kemurungan, Silvia mengisi keranjang anyaman dengan belasan bungkus camilan ringan. Kedua safirnya menerawang tak fokus. Tatapannya sehampa jiwanya.
Seharusnya dia tidak di sini. Berjam-jam lalu Calvin mengundangnya ke rumah. Namun, Silvia urung melangkah. Hati gadis itu galau luar biasa.
Syarat yang diberikan Oma Moerti sungguh aneh. Sebelum menikahi Silvia, Calvin harus mengadakan pameran kain tenun pewarna alam di rumahnya. Oma Moerti menjelma seperti Dayang Sumbi, Rara Jonggrang, dan Rara Anteng yang menerapkan syarat aneh sebelum menikah. Dayang Sumbi menghendaki Sangkuriang membuatkan perahu untuknya dalam semalam. Rara Jonggrang meminta seribu candi pada Bandung Bondowoso. Ketika dilamar raksasa jahat Bima Reksa, Rara Anteng mensyaratkan sebuah lautan di puncak Bromo.
Dongeng-dongeng itu isapan jempol belaka. Namun, ternyata masih ada yang mensyaratkan hal aneh sebelum pernikahan. Tak sulit Calvin memenuhi permintaan ibu mertuanya. Toh Oma Moerti tidak mewajibkan pameran itu rampung digarap dalam semalam. Rumah Calvin lebih dari cukup untuk disulap sebagai lokasi pameran.
Kesibukan Calvin mengurus pameran itu yang membuat hati Silvia diserang penyakit galau akut. Oma Moerti seakan sengaja menjauhkannya dari Calvin. Mereka tak lagi punya waktu bersama. Selama seminggu terakhir, Silvia rutin datang ke kantor Calvin untuk mengantarkan berkas-berkas yang harus ditandatanganinya. Pria Tionghoa itu jadi sulit sekali dihubungi. Bahkan, ia tak lagi berkonsentrasi mempersiapkan pernikahannya. Silvialah yang lebih banyak turun tangan menyiapkan banyak pritilan jelang hari H.
Sebungkus keripik pedas meluncur lepas dari tangan Silvia. Ia membungkuk, memungut bungkusan keripik yang menggelinding ke kolong kursi. Dilemparnya bungkusan kesebelas ke keranjang.
Tenggelam memikirkan keganjilan situasi belakangan ini memupus konsentrasinya. Silvia kembali berkemas dengan lebih hati-hati. Bayangan pria tinggi, putih, sipit, dan berjas rapi itu tak dapat terhapus. Calvin telah mengisi sembilan puluh persen kapasitas ruang hatinya.
“Aku melakukannya demi kamu, Via. Lebih cepat kupenuhi syarat Mama Moer, lebih cepat kita menikah.” Calvin membela diri ketika Silvia sempat protes saat tahu syarat itu.
Benarkah Calvin melakukan semua itu demi dirinya? Tidakkah pameran hanya akal-akalan Oma Moerti untuk memisahkan Silvia dari Calvin? Waktu, tenaga, dan perhatian Calvin sempurna tersedot oleh pameran kain tenun berpewarna alam.
Silvia menghela napas dalam, meredakan nyeri di ulu hatinya. Sakit sekali tiap mengingat itu semua. Calvin mengurusi pameran, menenggelamkan diri dalam lautan kenangan tentang Alea. Mungkinkah Calvin tengah menikmatinya?
Perasaan inferior membelenggu hatinya. Silvia ditawan pikiran negatifnya sendiri. Dia merasa bukan siapa-siapa. Hanya keberuntungan semata seorang gadis miskin, yatim-piatu, dan kesepian seperti dia diajak menikah oleh bosnya sendiri yang kaya-raya. Kisahnya mirip cerita picisan di dunia oranye. Akan tetapi, benarkah kisahnya akan berakhir seindah cerita fiksi?
Justru itu yang tak diyakininya. Awan hitam yang menggayuti kepala Silvia meneriakkan bahwa ia akan gagal menikahi Calvin. Ada rintangan amat besar yang tak mungkin mereka lewati.
Terbawa rasa takut, Silvia menatap nyalang ke sekeliling kontrakannya. Dua ekor tikus merayap di tembok, saling kejar, dan saling tarik ekor mereka. Plafon putih bebercak-bercak coklat menjadi spot terbaik para cicak untuk berlarian. Beberapa bagian rumah sudah bocor. Merasa itu bukan rumahnya, Silvia enggan mengeluarkan uang untuk memperbaiki atap bocor.
Mau tak mau, Silvia teringat rumah berlantai tiga di tengah Kota Bandung itu. Rumah megah yang akan menjadi tempat perayaan kerja keras para perempuan esok pagi. Kediaman Calvin dan kontrakannya bagaikan istana mewah dengan gubuk derita.
Ah, terlalu lama mendekam di kontrakan ini membuat Silvia terus berpikir buruk. Cepat-cepat dia mengemasi sisa camilan. Dipesannya ojek daring via aplikasi. Sepuluh menit menanti, terdengar teriakan di depan pintu.
“Iya sebentar,” sahut Silvia membalas seruan driver itu.
Menenteng keranjang rotannya, Silvia be
rjalan ke pintu depan. Seorang pria kurus berjaket hijau tersenyum ramah menyambutnya.