Untuk Hati yang Sekarat

princess bermata biru
Chapter #32

Kain Tenun Bersaksi

Calvin mimpi buruk. Dalam mimpinya, ia melihat Silvia marah besar. Belum pernah ia menyaksikan gadis itu murka. Rambut coklatnya meretih seperti tersetrum listrik. Kedua tangannya terayun, menarik bedcover keras-keras. Silvia berteriak keras menyebut kesalahan Calvin malam itu: membiarkannya kehujanan dan kedinginan semalaman.

Tangan Tuhan cepat membebaskannya dari mimpi mengerikan itu. Calvin mendapati dirinya berbaring gelisah di kamar Jose. Suasana kamar itu tenang sekali. Bedcover-nya tidak tertarik lepas. Sejenak Calvin berbaring menatap lampu tidur yang menyiramkan cahaya lembut, berusaha mengumpulkan nyawa. AC berdengung di sekeliling kamar. Kesejukan kamar ini membuatnya tergoda untuk tidur lagi.

“Ayah, udah jam berapa sekarang?”

Gumaman Jose memecah keheningan. Anak itu bergelung di tempat tidur, membiarkan tubuhnya dibelai selimut hangat bercampur dinginnya AC. Calvin melirik arloji emas yang melingkar di pergelangan tangan.

“Astaga ... sudah jam enam. Ayo bangun, Sayang. Kita harus siap-siap,” perintahnya.

Keduanya serabutan turun dari ranjang. Jose mandi di toilet kamarnya, dan Calvin menggunakan kamar mandi di dalam kamarnya sendiri. Rasa bersalah belum lesap dari hati mereka karen terlambat bangun dan tidak sempat salat Subuh.

“Wow, Bu Silvia cantik banget.”

Ujaran itulah yang tertangkap indera pendengaran Calvin saat ia turun ke ruang make up. Sedetik. Tiga detik. Lima detik, tubuhnya bagai dihantam balok es. Sosok bertubuh langsing dengan rambut coklat terkepang rapi dan riasan wajah memesona itu tak lain adalah Silvia.

“V-Via?” Calvin tergagap, melangkah pelan ke depan cermin.

Detik berikutnya, pandangan Calvin dan Silvia bertabrakan. Gadis itu memegang dadanya, meredam emosi yang menggemuruh. Rindu dan kesal bercampur aduk jadi satu. Ia rindu pria itu, sangat rindu. Namun, ia pun kesal karena Calvin mengabaikannya semalaman.

“Tante Silvia!” Jose berseru senang, menubruk perut Silvia, dan memberinya pelukan erat.

Calvin perlu berterima kasih pada putra semata wayangnya. Kehadiran Jose melumerkan balok es kekecewaan Silvia. Gadis itu sukses mengukir senyum tulusnya. Senyum tulus, tanpa sinisme, sorot kecewa, dan amarah.

“Kok Tante nggak datang semalam?” Jose protes setelah mereka saling melepaskan diri.

“Tante datang, Sayang. Tapi kalian nggak keluar temui Tante, jadinya Tante tidur di luar semalaman.”

Kerlingan cemas Calvin memuaskan hati Silvia. Rasakan, pikirnya. Tidur di luar di malam dingin berhujan sungguh tidak nyaman.

“Maafkan aku, Sayang. Maaf ... aku tidak bermaksud ....”

Sebelum Calvin sempat menyelesaikan permohonan maafnya, beberapa orang masuk ke ruangan make up. Suara mereka bising sekali. Mereka mengobrol, terkikik, dan bertukar cerita soal kegiatan sosial sambil menunggu giliran dirias. Silvia menduga mereka pastilah teman-teman Alea sesama sosialita dan aktivis perempuan.

Jengah hatinya berada di antara para wanita eksklusif. Ketidaknyamanan Silvia terbaca oleh Calvin. Pria berwajah lembut itu memegang siku Silvia, mengajaknya pergi. Sebelum niatnya kesampaian ....

“Calvin, Jose, ayo ke bawah. Orang-orang dari Rotary Club ingin bertemu kalian.”

Oma Moerti berkacak pinggang di ambang pintu. Matanya menyorot tajam ke arah Silvia. Calvin dan Silvia saling lirik. Jose terjebak di tengah.

“Tturunlah, Vin. Aku tak apa-apa,” lirih Silvia.

“Tapi ....”

“Calvin, Jose, cepat!” sentak Oma Moerti habis sabar.

Sepasang safir biru indah itu memandang masygul dua punggung yang kian menjauh. Silvia menahan kelenjar air matanya untuk berproduksi. Likuid bening itu akan membuat riasan wajahnya berantakan. Ingin sekali Silvia berlari pulang ke kontrakan. Wajah lembut Calvin dan dekapan erat Jose membuatnya bertahan.

Seorang pelayan wanita mendorong troli penuh berisi bubur yang dikemas dalam wadah mika kecil-kecil. Ia membagikannya pada semua orang di ruangan itu. Silvia heran karena dirinya mendapat jatah tiga porsi bubur sekaligus. Kata pelayan itu, Calvinlah yang menyuruhnya memberikan jatah lebih banyak untuk Silvia. Hati-hati gadis itu menyuapkan bubur sumsum ke dalam mulutnya. Takut bubur hangat melunturkan lipstick-nya.

Selesai sarapan, ia didatangi pelayan yang lain. Pelayan itu membawa tas kain. Isinya sehelai gaun cantik terbuat dari kain serat nanas berwarna putih gading.

“Ini untuk Bu Silvia dari Pak Calvin. Beliau minta Bu Silvia ke bawah sekarang karena pembukaan seger adimulai” kata pelayan itu lancar seolah menghafal teks pidato.

Gaun itu begitu pas mengikuti lekuk tubuh Silvia. Bahannya ringan dan sejuk. Baju yang dikenakan Silvia salah satu produk buatan ibu-ibu penenun di sebuah daerah penghasil nanas. Selain lewat buah-buahnya, para petani nanas mendapatkan penghasilan tambahan dari serat nanas yang dapat diubah menjadi pakaian.

Sebelum duduk di bangku bludru, Silvia meminta pelayan itu mengantarnya berkeliling. Ruang-ruang pameran dipenuhi bermacam pakaian dari kain tenun pewarna alam. Ada kemeja dari batik ecoprint, baju terusan yang dibuat dari sutra kepompong pohon singkong, syal cantik berpewarna indigo, gaun shibori, dress berpotongan mewah terbuat dari sutra putih Badui, dan luaran berbahan kain tenun Lombok Pringasela Selatan. Di sebuah stan, tampak masker cantik berbahan batik berpewarna alam. Semua produk hasil tenunan di sini bagus-bagus dan berharga mahal. Silvia menelan ludah melihat label harga yang tergantung pada sebuah gaun berpewarna indigo: harga gaun itu mencapai setengah gaji bulanannya.

Ia puas berkeliling. Silvia didudukkan di sebuah bangku VIP. Sekelompok wanita cantik dan berpenampilan glamor duduk di kanan-kirinya. Sebagian dari mereka mengenakan pin Rotarian. Sejenak Silvia merasa minder. Dirinya bukan sesiapa di antara perempuan-perempuan cerdas nan hebat ini.

Hatinya sedikit tenteram saat Calvin mendekat. Baru saja dia memekarkan senyumnya, seleret senyum itu kembali kuncup. Calvin tak sempat menuju bangkunya karena ia terlanjur diajak ngobrol oleh seorang anggota Rotary International. Ibu-ibu perlente itu memuji Calvin lantaran mau mengadakan pameran ini untuk menghormati istrinya.

“Anda memang suami yang baik, Pak Calvin. Bu Alea pasti bangga melihat suami tercintanya dari atas sana,” puji perempuan kaya itu tulus.

Calvin tersenyum tipis. Langsung saja si tuan rumah dikerubuti para tamu terhormat yang melempar pujian manis. Silvia melengos, lagi-lagi merasa tersisih.

“Kami ucapkan selamat datang pada Wali Kota Bandung atau yang mewakili. Dan kepada para tamu undangan, dimohon menempati tempat duduk masing-masing. Pembukaan Empu akan segera dimulai,” kata pembawa acara dengan suara mezosoprannya yang lembut berirama.

Kebisingan mereda. Pelataran rumah Calvin senyap. Barisan kursi bertutup beludru putih sudah penuh.

Lihat selengkapnya