Ia datang mengenakan pakaian putih bersih. Harum maskulin menguar dari tubuhnya. Lembut tangannya membantu Ayah Calvin bangkit dari lantai. Apakah ia malaikat?
Tangannya lembut sekali. Sekilas Ayah Calvin meraba tangan pria berbaju seputih susu itu. Bukan tekstur kulitnya, melainkan gerakannya yang lembut. Tangan ini sama sekali berbeda dari tangan pramurukti gadungan yang tak sengaja dimasukkan Jose.
Mungkin saja Jose mempekerjakan perawat baru. Si perawat berkulit putih dan berseragam putih mendudukkannya di bibir ranjang. Ia menatap muram wajah pucat Ayah Calvin.
“Apa yang dilakukannya padamu?” tanya Revan prihatin.
Bayangan kengerian tertawa mengejeknya dari dalam keremangan. Hal terakhir yang diingatnya adalah bathtub. Firli mencoba menenggelamkan kepala Ayah Calvin ke bak mandi sambil menghujaninya dengan serapah. Belum pernah kata-kata kotor itu tumpah di atap rumahnya.
“B-bak mandi ... air dingin ....” Ayah Calvin terputus-putus menjelaskan, gemetar menahan kedinginan dan keterpukulan amat dalam.
Revan mengangguk samar. Diusapnya lengan pria itu yang beku kedinginan. Ayah Calvin terbatuk. Tanpa kata, Revan menyodorkan tisu. Ayah satu anak itu mengambil lembar putih beraroma wangi dari tangan Revan dan terbatuk di atasnya.
“Astaghfirullah ....” Revan beristighfar pelan. Dahak kemerahan menodai kertas putih sekali pakai itu.
Tinggal bersama Calvin memperburuk kondisi Ayah Calvin. Sekali ini, Revan menyesali takdirnya yang bukan paramedis sungguhan. Ia tak bisa mengukur tekanan darah Ayah Calvin atau memberikan langkah medis untuknya.
“Tunggu di sini sebentar,” perintah Revan halus.
Betapa kaget Revan karena Ayah Calvin menggenggam tangannya erat sekali. Revan terhuyung ke belakang, tak bisa bergerak lebih jauh. Pria setinggi dan setampan ini takut ditinggal sendiri.
“Tidak, saya tidak akan lama. Saya hanya mau ambil obat dan buah-buahan. Kamu belum minum obat, ‘kan?” janji Revan meyakinkan.
Akhirnya Ayah Calvin mau ditinggal sebentar. Cepat-cepat Revan turun ke lantai bawah. Dia menjumpai Firli sedang menonton Youtube sambil menghabiskan setoples biskuit coklat.
“Ehm ....” Revan berdeham keras. Dehamannya sukses membuat Firli hampir tersedak.
“Katanya pramurukti, kok Youtube-an?”
Hati Firli terbakar mendengar ujaran sarkastik Revan. Dilemparnya smartphone-nya ke sofa, menatap Revan dengan sorot mata menantang.
“Eits, santai, Bro. Jangan main fisik di dekat orang sakit. Tapi, mendinganlah kamu numpang WiFi. Dari pada kamu memasukkan kepala orang baik ke bak mandi.”
Dengan satu pandangan jijik, Revan melenggang ke ruang makan. Ia tak punya waktu banyak. Firli pastilah akan menggunakan kesempatan ini untuk menganiaya Ayah Calvin. Setelah mengambil obat-obatan, buah segar, dan mangkuk potong, jurnalis senior itu berlari naik ke lantai atas.
Revan bernapas lega. Firli belum menyatroni kamar itu. Ayah Calvin masih terduduk lemas di tempatnya semula.
“Minumlah,” suruh Revan seraya menyorongkan segelas besar air putih dan beberapa butir obat.
Ayah Calvin menghabiskannya dalam beberapa kali tegukan. Sementara itu, Revan menyibukkan diri mengupas buah dengan menggunakan mangkuk potong.
“T-tidak ada pisau, kan?” bisik Ayah Calvin cemas.
“Tidak, Calvin. Aku pakai mangkuk potong. Jangan takut.”
Lewat data yang diperolehnya, tahulah ia kalau Ayah Calvin trauma dengan pisau. Benda panjang berujung tajam itulah yang merobek punggungnya di Semarang tempo hari.
“Dia menusukku ... dia melubangi punggungku dengan pisau,” curhat Ayah Calvin. Sudut matanya mengalirkan likuid bening.
Jiwa kemanusiaan Revan terusik. Betapa malangnya pria ini. Sepanjang hidup, ia telah ditimpa berupa-rupa cobaan. Pernikahan yang hancur, pengkhianatan istri, ditinggalkan wanita yang dicintai, mengalami cacat kaki, menderita kelainan darah, dan terkena luka tusuk yang cukup dalam. Telah banyak darah yang dikucurkan Ayah Calvin. Penderitaan belum kenyang memangsa jiwa dan raganya.
“Dia akan segera pergi dari sini, Calvin. Aku janji. Makanlah apel ini. Kamu akan merasa lebih baik.”
Dengan lembut, Revan membuka telapak tangan Ayah Calvin. Meletakkan sebutir apel yang telah dikupas kulitnya. Hati Ayah Calvin bergetar kuat. Tangan ini, lembut sekali. Selembut tangan Jose, Liza, Silvia, Opa Werner, Oma Audy, dan Alea. Ingatan akan orang-orang terkasihnya menguatkan Ayah Calvin.
**
Beres meeting, Liza tak kembali ke Dago Pakar. Ia memutuskan langsung menuju Padalarang. Lokasi tempat pabrik baru milik Jose menjulang angkuh.
Terbayang olehnya Ayah Calvin dengan wajah pucat dan tubuh memar. Liza ingin segera sampai di pabrik. Jose harus tahu kondisi sang ayah. Tak habis pikir ia dengan pengusaha muda itu. Teganya dia menelantarkan Ayah Calvin selama tiga hari, membiarkannya hanya bersama oknum pramurukti itu.
Tiba di pabrik, Liza disambut kerusuhan yang ditimbulkan para buruh. Mereka terus dan terus berdemo. Tak lelah mereka meneriakkan tuntutan lewat megafon. Liza bergumul dengan rasa takut untuk menerobos kerumunan brtual itu. Tak sedikit dari mereka yang membawa batu sebesar kepala manusia dan pisau lipat.