Untuk Hati yang Sekarat

princess bermata biru
Chapter #34

Menjemput Tidur Abadi di Pelukanmu

“Halo, saya ingin melaporkan kalau ada penjahat menyamar sebagai pramurukti di kediaman ....”

Tergesa-gesa Revan menyelesaikan laporannya. Setelah memastikan orang di seberang sana mendengar jelas semua yang dia katakan, pria blasteran Turki itu memutus sambungan telepon. Hatinya berangsur lega melihat Ayah Calvin tetap duduk di tempatnya.

“Tenang, mulai sekarang tak ada yang bisa melukaimu.” Revan berjanji, menepuk pelan punggung Ayah Calvin.

Kumandang syair-syair Tuhan terlantun dari bawah perbukitan. Semilir angin malam menunggang udara. Revan bimbang untuk meninggalkan Ayah Calvin sendirian. Ia takut Firli akan mencuri kesempatan saat lengah sebentar saja.

Ini bisa jadi jebakan untuknya, bisik sisi lain hati Revan. Tersusun strategi untuk menjebak Firli. Revan bangkit, kemudian membuka pintu kamar lebar-lebar. Ia bersiap menuju toilet kamar untuk mengambil wudu. Suara lirih dari bibir ranjang menahan langkahnya.

“Mau kemana?” tanya Ayah Calvin gentar.

“Ambil wudu, Calvin. Sebentar saja ... tak akan lama.”

Di luar dugaan, Ayah Calvin menyusul Revan. Gerakan mendadak Ayah Calvin meleset dari perkiraan Revan sebelumnya. Pasrah, dia mundur ke tembok. Membiarkan Ayah Calvin melewatinya.

Shower mengucurkan air bening. Ayah Calvin membiarkan kesegaran air membasuh tangan pucatnya. Lamat-lamat air bening berubah warna menjadi merah. Darah berceceran ke lantai kamar mandi. Likuid merah pekat itu berasal dari hidung Ayah Calvin.

Sekeluarnya dari kamar mandi, Ayah Calvin disambuti ekspresi kaget Revan. Pria berbaju putih itu tengah berhadapan dengan Firli. Gelombang ketakutan yang sempat sirna, kini kembali menggulung hati. Firli mengangkat tinggi-tinggi sebentuk pisau hitam panjang.

Pisau. Kenapa harus pisau lagi? Manik mata Revan menangkap raut ketakutan di wajah Ayah Calvin.

“Tidak apa-apa ... tidak apa-apa ... salatlah, Calvin. Dia tidak akan melukaimu,” kata Revan menenteramkan.

Firli menyeringai jahat. “Oh ya? Kamu yakin sekali aku tak bisa menyentuh tubuhnya.”

“Ya! Aku sangat yakin!” tantang Revan.

“Karena aku sudah punya bukti untuk menyeretmu dan atasanmu ke penjara!”

Tak seperti biasa, Ayah Calvin salat dengan pakaian yang melekat di tubuh. Semua jasnya ada di kamar utama. Biasanya, koleksi jas mahal itu menemaninya berkontemplasi dengan Tuhan.

Kegelisahan memuncak. Ia memperpanjang sujudnya, berdoa meminta perlindungan. Hanya Dia sebaik-baik penjaga. Pada sujud terakhir rakaat ketiga, Ayah Calvin tak sanggup bangkit lagi. Tubuhnya bagai lumpuh. Ia dapat merasakan Firli merangsek maju dengan pisau di tangan.

Dia akan berakhir.

Sebentar lagi, ini semua akan berakhir.

Dia akan tertidur abadi.

Hatinya tak henti menyuarakan pikiran buruk. Belum pernah Ayah Calvin sedemikian putus asa. Motivator bagi putranya itu justru terpagut dalam jerat keputusasaan.

Detik berikutnya, Ayah Calvin merasa mual. Rasa mual yang menghebat itu menambah deretan panjang penderitaannya. Di detik yang sama, ia harus berjuang untuk menuntaskan rakaat terakhir dan menahan apa pun yang ingin terpisah dari tubuhnya. Dapat ia dengar Revan berteriak dan dua pasang kaki berlari di kaki tangga.

“Dan jangan pernah sentuh Calvin lagi!” Revan berteriak marah seraya merebut pisau dari tangan Firli.

Brak!

Pintu kamar berdebam terbuka. Jose, Liza, dan dua pria berseragam coklat.

“Angkat tangan!” bentak salah satu orang berseragam coklat pada Firli.

“Ayah ....”

Suara-suara itu, sepasang tangan yang merengkuhnya hangat itu, membuat sungai darah di sekujur tubuhnya mengalir deras. Namun, mual ini tak tertahankan lagi. Ayah Calvin muntah darah hebat. Cairan merah pekat menyembur ke sajadah dan bagian depan pakaian Jose. Liza memekik tertahan.

“Cepat, kita harus bawa ayahmu ke rumah sakit!” Revan memimpin mereka keluar kamar. Susah payah Jose menggendong tubuh rapuh Ayah Calvin. Tubuh ini, begitu ringan dan lemah. Jose merinding ketakutan membayangkan apa yang telah menimpa sang ayah.

**   

Sesak sekali dada ini. Ayah Calvin setengah sadar, tubuhnya dipasangi selang infus dan oksigen. Telah lama Jose dn Ayah Calvin berteman dengan kepedihan. Sang kepedihan belum lelah mencobai mereka.

Ini malam terburuk dalam hidup Jose. Melihat wajah pias Ayah Calvin membuatnya tersiksa. Kesalahannyalah Ayah Calvin tumbang. Walau kata dokter belum terlambat, walau Ayah Calvin belum sempat kehabisan darah saat tiba di sini, tetap saja penyesalan bertumpuk-tumpuk di dada Jose.

“Om Revan, terima kasih, ya, mau membantu kami menyelamatkan Ayah Calvin.”

Sayup didengarnya Liza mengucap terima kasih pada Revan. Seharusnya, itu dilakukan Jose. Kesehatan Ayah Calvin jauh lebih penting ketimbang ucapan terima kasih.

Paviliun rumah sakit lengang. Di bawah temaram cahaya lampu, Jose melihat betapa pucat wajah ayah tercintanya. Wajah pucat yang kehilangan senyum. Binar lembut telah padam dari kedua mata sipitnya. Apa yang sudah dilakukan Firli hingga ayahnya terluka sedalam ini? Bukan luka fisik yang mengkhawatirkan, tetapi luka batin dalam jiwa. Luka-luka tak kasat mata lebih berbahaya dan sangat sulit tersembuhkan.

Hanya ada mereka bertiga di paviliun. Jose membungkuk, memposisikan tubuhnya lebih dekat dengan Ayah Calvin. Tangan Ayah Calvin yang terasa sedingin es digenggamnya erat-erat. Jose menangkup tangan itu, lalu menciumnya. Ia bisa mendengar Revan dan Liza melanjutkan perbincangan mereka.

“Bagaimana ceritanya sampai Om Revan berhasil membekuk penjahat itu?” selisik Liza.

“Bukan saya yang membekuknya, Liza, tetapi aparat berwajib. Saya ini orang media. Cepat-cepat saya telpon polisi dan saya juga sempat merekam perbuatannya mengacungkan pisau ke arah Calvin. Rekaman itu langsung saya kirim ke teman saya di kepolisian. Itu mudah sekali, sayangnya saya baru menemukan dia setelah tiga hari. Kalau saya lebih cepat, kondisinya takkan separah ini,” tutur Revan penuh penyesalan.

Paparan Revan menohok hati Jose. Semua ini kesalahannya. Sejak awal, dia telah memasukkan orang jahat ke rumah. Mengumpankan Ayah Calvin sebagai target empuk penjahat itu beserta bosnya. Jose egois, dia terlalu mempedulikan bisnisnya.

“Maafkan Jose, Ayah. Maaf ....” Jose berkata lirih, tenggelam dalam lautan rasa bersalah.

“Jose ... Sayang, kita sudah sampai?”

Gumaman amat pelan dari atas ranjang menyentkkan Jose dari gelimang kesedihan. Dia menundukkan pandang, membalas tatapan sayu Ayah Calvin.

“S-sampai?” tanya Jose bingung.

“Kapan pesawatnya mendarat? Ayah, ‘kan mau ajak kamu liburan ke Italia.”

Seisi paviliun dicekik kesedihan. Kesedihan Jose yang terdalam di antara mereka. Pastilah Ayah Calvin mengira mereka masih dalam perjalanan menuju Italia seperti yang mereka lakukan sepuluh tahun lalu. Saat itu, Ayah Calvin mengajak Jose mengisi liburan kenaikan kelas dengan mengunjungi tiga kota di negeri pizza: Roma, Venesia, dan Verona. Ayah Calvin membawa Jose ke Air Mancur Fontana de Trevi, Menara Pisa, Coloseum Verona, dan naik gondola berkeliling kota air Venesia. Liza terisak tertahan di belakang Jose. Sementara itu, tubuh Revan merosot tanpa suara ke sofa.

“Kita di rumah sakit, Ayah.” Jose terpaksa berkata jujur. Dia tak mau ayahnya kembali kehilangan arah seperti dulu.

“R-rumah sakit?” Ayah Calvin bergumam panik, mencoba bangkit dari ranjang putih.

Revan, Jose, dan Liza sigap menahan tubuh rapuh nan pucat itu. Ayah Calvin memaksakan diri ingin bergerak. Tangannya bergerak naik, mencoba mencabut selang di lengan kanannya.

“Jangan, Ayah. Jangan ... Ayah belum sembuh,” cegah Jose, menjauhkan tangan berjari putih panjang itu dari selang.

Ayah Calvin mengerang putus asa, terenyak kembali ke tumpukan bantal. “Pulang ... Ayah ingin pulang ... pulang.”

Taifun mengacak-acak kalbu. Rintihan, sorot mata ketakutan, dan luka jiwa yang ditampilkan ayahnya membuat hati Jose hancur berantakan. Perasaan gagal sebagai anak menghantamnya telak. Jose Gabriel Calvin gagal, sempurna gagal. Ayahnya lagi-lagi menderita karena keteledorannya.

“Baik, Ayah. Sebentar lagi kita pulang. Tapi Ayah tenang dulu, ya. Atau Ayah mau makan? Ayah belum makan dari tadi, ‘kan?” bujuk Jose teramat sabar.

“Tidak, Sayang. Ayah tidak mau.”

Susah sekali membujuk Ayah Calvin makan. Liza dan Revan bertukar pandang gelisah, merasa menjadi pengacau dalam kesedihan keluarga. Hanya rasa sayang pada dua anggota keluarga baik hati inilah yang terus menahan mereka di sini.

Kehabisan cara, Jose merogoh saku jasnya mencari iPad. Diperlihatkannya tablet buatan Apple pada sang ayah. Sepasang iris coklat yang terlihat sayu itu mengikuti gambar-gambar bergerak di layar.

“Ayah, ini foto-foto kita waktu liburan. Ini foto kita di Roma, Paris, Istanbul, dan masih banyak lagi,” kenang Jose, menggeserkan jari ke layar tab.

Ayah Calvin menghela napas berat. Jose takut mendengar betapa lemah tarikan napas ayahnya.

“Ayah ingin ke tempat-tempat itu lagi bersama anak Ayah tersayang,” bisik Ayah Calvin parau.

“Iya, Ayah. Kita akan ke sana lagi. Tapi tunggu Ayah sembuh dulu. Makanya Ayah harus cepat sembuh,” kata Jose tersendat.

File berikutnya ia buka. Sebuah lagu terputar. Harapannya bersemi, berharap ayahnya mengingat lagu ini. Iringan piano masuk sebagai intro. Jose trenyuh mendengar Ayah Calvin menyanyi lembut.

Di setiap doaku

Lihat selengkapnya