Anak laki-laki yang kehilangan tiga sahabatnya dalam serangan terorisme tak ada lagi. Kini, ia tumbuh menjadi pria tampan. Sipit kedua matanya, tinggi postur tubuhnya, tampan wajahnya, dan baik hatinya. Lihatlah, langkah tegapnya menyusuri sepanjang lorong garbarata.
Kian dewasa, makin terlihat kalau Jose Gabriel Calvin mewarisi ketampanan ayahnya, Calvin Wan. Ia menjejakkan kaki di pelataran bandara disambuti lirikan berpasang-pasang mata wanita. Mulai dari sesama penumpang, pramugari yang menebar senyum manis, para penjemput, hingga pegawai maskapai penerbangan berjenis kelamin wanita, teralih perhatiannya gegara mata sipit dan muka oriental. Jose mengabaikan semua tatapan itu. Tak berminat ia menanggapi perhatian berlebih dari makhluk Tuhan yang katanya paling perasa. Hatinya terlanjur direbut seorang gadis. Karena gadis itu pula, Jose lebih memilih mendatangi sebuah co-working space tenimbang pulang ke rumah Ayah Calvin.
“Taksi, Koh?” tawar seorang pria bertubuh gempal dan berseragam biru.
Jose mengangguk. “Ke Collabox, ya.”
Tak kurang dari lima menit, taksi biru meluncur meninggalkan bandara. Sepanjang perjalanan Jose habiskan dengan membuka laman blognya di sebuah media jurnalisme warga. Membalasi komentar-komentar pembaca yang masuk ke artikel terbarunya, sebuah artikel tentang prosesi ibadah di era new normal. Tak sempat ia blogwalking atau berkunjung ke artikel blogger lainnya. Alih-alih blogwalking, pria berjas hitam itu malah membuka grup Whatsapp alumni sekolah. Sekolah yang kini dikelolanya. Dulu, sekolah dan yayasan itu milik Ayah Calvin. Pada siapa lagi Ayah Calvin mewariskan selain pada anak semata wayangnya?
Sebuah berita duka menggemparkan grup. Adi, musuh semua anak semasa sekolah dasar, telah tiada. Ingatan Jose melayang ke masa lima belas tahun lalu. Saat itu, Adi sering sekali mengganggu dirinya, Andrio, Livio, dan Hito. Calon ketua kelas yang gagal itu marah sebab dirinya tak terpilih. Kini Adi telah tiada. Pintu maaf Jose terbuka lebar untuknya. Jauh sebelum Adi meninggal, Jose telah berlapang hati memberikan maaf.
Ting
Penanda notifikasi di iPhone-nya berbunyi. Pop up bertuliskan nama Liza berikut foto seorang gadis cantik berkulit putih dan bermata segaris merebut atensinya.
“Masih di pesawat? Cepat ke sini, ya. Pamerannya udah mulai. See you.”
Hati Jose berdesir hangat. Gadis ini baik sekali. Ia tak segan memulai chat duluan, bukan karena gresif tetapi semata karena perhatian tulus. Tak salah bila Jose jatuh hati padanya. Cepat diketikkannya balasan. Menjelaskan posisinya sekarang. Kurang dari semenit, Liza membalas lagi dengan emoji senyum dan hati berwarna merah.
Anak Ayah Calvin benar-benar sudah besar. Ia bahkan telah mengenal cinta. Dan Liza Monalisa adalah cinta pertamanya.
**
Kain-kain tenun berpewarna alam terpajang cantik. Ruang pameran disesaki pengunjung. Area luar Collabox dipenuhi barisan kursi bertutup beludru putih. Jose tiba tepat ketika peragaan busana berlangsung. Dua belas peragawati cantik melenggak-lenggok anggun di atas catwalk. Nampak duo sibling Manda dan Laras bergerak lincah tapi memikat dengan mengenakan kain tenun berwarna indigo. Disusul gadis bermata biru yang entah siapa namanya memutar anggun dalam balutan gaun putih serta scarf batik ecoprint. Beberapa wanita baya yang masih cantik tampil bergiliran mengenakan gaun dari kain tenun Badui, atasan dari kain tenun Lombok Pringasela Selatan, luaran yang terbuat dari kain sibori, dan pakaian bermotif sekar kawung. Cantik, mereka semua cantik dan anggun.
Namun, tak ada yang lebih menarik perhatian Jose kecuali gadis dengan kamera di tangan. Lincah geraknya, putih mulus tangannya yang menekan tombol shutter, dan menawan senyumnya ketika berhasil mengabadikan momen dengan sempurna. Alih-alih modelnya, Jose justru lebih tertarik pada fotografernya. Tak keruan debaran yang menggempur jantung ini. Makin mantap hatinya mempersunting Liza. Seorang fotografer bersanding dengan traveler, bukankah serasi? Bandara memang selayaknya bersatu dengan kamera. Jose keasyikan memperhatikan Liza sampai-sampai tak menyadari sepasang mata tajam di balik masker berwarna hitam terus mengawasi. Naluri kewaspadaannya mendadak mati.
Usai fashion show, tibalah saatnya gelar wicara. Dua orang pembicara naik ke podium. Mereka adalah dosen Fakultas Pertanian dan seorang pendamping wanita-wanita penenun di belahan lain Indonesia. Gelar wicara ini memberi ilmu baru. Ilmu tentang promosi kain tenun pewarna alam, cara memanfaatkan bahan dari alam sebagai pewarna, dan ilmu kesabaran mendampingi para wanita penenun.
“Kita perlu mendengarkan tanggapan dari sudut pandang lain. Untuk itu, saya panggilkan Jose Gabriel Calvin, pengusaha muda, penulis buku, dan aktivis toleransi.”
Suara bening perempuan menyebut namanya. Jose terperangah, tak siap dengan undangan mendadak ini. Ia melangkah ke panggung diiringi tepuk tangan audience.
“Dulu dia anak jet set. Sekarang, dialah pengganti ayahnya. Tentu kalian semua kenal siapa ayahnya, kan?” lanjut si gadis moderator, tersenyum menggoda.
Jose sedikit jengah karena latar belakangnya disebut-sebut. Dia lebih suka dikenal tanpa dibayangi Ayah Calvin. Tetiba Liza berdiri di sampingnya, menggenggam lembut tangan Jose. Perasaan tak enak di hati pria itu luruh.
Diskusi berjalan lancar. Liza tak henti tersenyum manis dan menatapnya bangga. Tenang hati Jose selama di samping Liza. Kotak kecil merah di saku jasnya menuntut segera dikeluarkan.
Usai sesi talkshow, Jose menculik Liza meninggalkan Collabox. Sempat gadis itu memprotes, tetapi akhirnya tersenyum juga ketika Jose membawanya ke The Hills Dining Restaurant. Sebuah tempat makan romantis berlatarkan panorama pegunungan nan indah di kawasan Bukit Baladewa.
“Wow, kamu tahu kesukaanku...” desah Liza takjub.
“Tahulah. Apa sih yang nggak aku tahu tentang kamu?”
Keduanya duduk bersisian. Menikmati sup krim, tenderloin steak, puding, dan vanilla latte.
“Gimana kabar ayah kamu?” Liza menanyai Jose saat mereka menyantap puding.
“Ayahku sakit,” jawab Jose lirih, menunduk menatap meja.
Tangan halus Liza mendarat di punggungnya. Ia tepuk-tepuk punggung tegap itu penuh sayang.
“Semoga Ayah Calvin cepat sembuh. Btw, saingan bisnis ayahmu udah nggak pernah ikutin kamu lagi, kan?”
“Masih. Dia suruh orang-orang bayaran buat melukaiku. So far, aku selalu berhasil lolos.”
Kerlip kecemasan berpendar di mata Liza. Kepalanya menoleh kanan-kiri, seakan berharap menemukan sosok berjubah dan bertudung hitam membuntuti mereka. Paras cantiknya dihiasi rona kekhawatiran. Jose serasa meleleh melihat kekhawatiran Liza yang amat tulus. Inilah saatnya, inilah saatnya.