Untuk Hati yang Sekarat

princess bermata biru
Chapter #3

Sayangku, Ayah Ingin Dikremasi

Ayah Calvin bergerak gelisah. Seorang suster berbadan mungil mencabut selang dari lengannya. Bunyi langkah kaki disusul tutup koper yang dibuka menandakan kesibukan di paviliun rumah sakit. Jose mondar-mandir di sekeliling ruangan, mengemasi barang-barang ayahnya.

“Jose Sayang, kamu bolos sekolah berhari-hari. Memangnya nggak takut ketinggalan pelajaran?”

Suara lembut sang ayah membuat gerakan tangannya terhenti. Jose menggigit bibir, masih merasakan geletar kesedihan tiap kali pertanyaan semacam itu dilontarkan.

“Nggak apa-apa. Jose mau berhenti sekolah aja, biar bisa jaga Ayah terus,” ujarnya tanpa memandang mata Ayah Calvin.

Rona kecewa tertinggal di seraut wajah tampan itu. Paras yang belum dihinggapi keriput dan tetap awet muda. Ayah Calvin tak senang mendengar perkataan anak tunggalnya.

Nope. Jangan berhenti sekolah. Kamu harus tetap belajar. Minimal homeschooling kalau kamu memang ingin berhenti dari sekolah formal. Ayah yang akan mengajarimu.”

Seperti deja vu, Jose terseret lautan kenangan. Kenangan saat ia menjalani homeschooling selama beberapa waktu. Ayah Calvin sendirilah yang turun tangan menjadi guru pendampingnya.

“Iya...Ayah.” Jose menyahut, tenggorokannya tercekat.

Kecewa berganti senyuman. Namun, senyum itu sekejap pudar. Ayah Calvin kembali gelisah. Tak henti ia melayangkan pandang ke jendela.

Menangkap gelagat ayahnya, Jose menyudahi kegiatan berkemas. Ia berjalan ke dekat ranjang. Lembut disentuhnya jemari Ayah Calvin. Ditanyakannya penyebab kegelisahan pria yang lahir di awal Desember itu.

“Sayang, kita akan pulang, ‘kan?” Alih-alih menjawab, Ayah Calvin balik melempar pertanyaan.

Jose mengangguk. Dia tenangkan ayahnya jika mereka akan pulang sebentar lagi. Ternyata Ayah Calvin takut mereka takkan bisa pulang. Entah dari mana rasionalisasinya.

Raut wajah dan tatapan matanya sungguh menipu. Ketenangan yang diperlihatkannya hanya kamuflase semata. Jose mengomeli Liza dalam hati. Bertanya-tanya mengapa gadis itu tak juga datang. Menyesal Jose mengizinkan Liza membawa mobilnya semalam. Mestinya ia antar saja Liza pulang ke rumah, lalu mobilnya bisa dibawa kembali ke rumah sakit.

Sekeping ingatan semalam membangunkan lamunan. Liza melewatkan harinya dengan menemani Jose menjaga Ayah Calvin. Dia bahkan menolak tawaran Antonius untuk dating. Padahal tunangannya itu akan berangkat ke London selama sebulan untuk urusan bisnis. Bukannya menghabiskan hari terakhir dengan pujaan hati, Liza justru mencurahkan perhatian untuk Jose yang hanya berstatus sahabat. Jose pun tak habis pikir dengan keputusan Liza.

“Kapan kita pulang?” Ayah Calvin mendesah resah, bersandar di kepala ranjang.

“Sebentar lagi, Ayah. Sebentar lagi ....” balas Jose sabar.

Pria muda itu merutuki keterlambatan Liza. Kalau sampai hitungan keduapuluh Liza tak datang, lihat saja nanti. Mulai dihitungnya menit pertama.

Sepuluh menit. Lima belas menit. Tujuh belas menit. Sembilan belas menit. Sembilan belas setengah ....

“Aku datang! Maaf Jose, Ayah Calvin, aku terlambat.”

Liza berlarian menerobos pintu ganda. Sedikit peluh membasahi wajah cantiknya. Rambutnya terburai. Jose geleng-geleng melihat tampilan berantakan gadis itu.

“Kamu...datang bukannya salam dulu malah lari-larian,” kecam Jose pelan.

“Oh iya...” Liza tersenyum malu, lalu berbalik ke pintu.

“Mau ngapain lagi?”

“Mau mengucap salam. Aku ulangi.”

Susah payah Jose menahan senyum. Dia belum bisa melepas sikap dinginnya. Memahat tanda tanya di hati Liza atas perubahan drastis itu. Walau begitu, dia tetap membersamai Jose sekalipun dinginnya mengalahkan gletser.

Sejurus kemudian, Jose meraih pegangan koper dengan tangan kanan. Tangan kirinya menggandeng tangan Ayah Calvin. Dengan sigap, Liza merebut koper hitam itu.

“Jangan bodoh, airport man. Memangnya buat apa aku jauh-jauh ke sini kalau bukan untuk membantumu?” Gadis cantik bergaun biru muda itu merepet panjang. Menyeret koper keluar paviliun.

Ayah Calvin tersenyum. Sementara itu, Jose manyun. Sebal sekali dengan perhatian Liza yang berlebihan. Cepat juga Tuhan membalikkan perasaan. Dulu ia sangat menyukai perhatian Liza.

“Dia baik sekali, ya.” Ayah Calvin mengarahkan tatapan pada Liza.

Si gadis yang jadi objek pembicaraan terbatuk pelan untuk menyamarkan tawa. Jose menghempas napas kesal. Menahan diri untuk tidak melempar tanggapan sumir di depan ayahnya.

Halaman rumah sakit disiram cahaya matahari. Sempat terjadi insiden tak penting saat Jose dan Liza berebut kunci mobil. Liza berkeras ingin menyetir agar Jose fokus menjaga ayahnya. Harga diri Jose sebagai pria serasa robek jika dirinya disupiri seorang wanita. Kalau tak melihat paras pucat Ayah Calvin dan kulit putihnya yang memerah akibat panas, perebutan kunci mobil masih akan lama berakhir. Umur awal dua puluhan belum melumerkan ego mereka.

Alhasil Jose merelakan harga dirinya berantakan. Ia duduk di bangku belakang bersama Ayah Calvin. Liza fokus menyetir. Bibirnya terkulum dalam senyum geli. Antara muak melihat senyum gadis pujaannya dan lelah dengan segala keruwetan yang melanda beberapa hari belakangan, Jose meletakkan kepalanya di pangkuan Ayah Calvin.

Lembut tangan Ayah Calvin mendarat di kepala Jose. Ah, bagaikan mengulang masa kecil. Mata Jose terpejam menikmati belaian ayahnya. Peduli amat bila ada wartawan melihat.

Lihat selengkapnya