Untuk Hati yang Sekarat

princess bermata biru
Chapter #4

Harina Membawa Cerita

Eling Bening? Jose sudah bosan mengunjunginya. Kelenteng Sam Poo Kong? Terakhir kali ke sana, ia disangka umat Konghucu yang mau sembahyang. Masjid Agung Jawa Tengah? Tiap kali rehat dari urusan di kantor cabang perusahaan dan kebetulan Hari Jumat, Jose tak pernah melewatkan kesempatan salat di sana. Simpang Lima? Aduh, kalau itu daerah jajahan Jose dan bakal calon istrinya yang gagal buat kulineran. Kampung Pelangi? Suatu kali, pria bermata sipit itu pernah menemani Liza ke sana untuk proyek fotografi.

Hampir semua tempat wisata di Semarang telah ia datangi. Jika bukan karena permintaan ayahnya, Jose enggan mengunjungi Taman Tabanas di Bukit Gombel. Ayah Calvin ingin menyambangi taman itu sebelum mereka pulang ke kota bunga.

Ya, pulang. Itu keputusan terbaik menurut Jose. Tak ada gunanya lagi dia bertahan di Semarang. Kantor cabang bisa diurus tangan kanannya. Di Bandung, putra tunggal Ayah Calvin itu bisa lebih leluasa mengurus perusahaan dan yayasan plus menemani Ayah Calvin. Mana tega ia tinggalkan ayahnya belarut dalam kesendirian?

Rumah-rumah tampak bagai miniatur dilihat dari taman itu. Kerlip lampu kota terpancar dari Semarang bagian bawah. Lelampu kota berpadu indah dengan lampu mobil yang berseliweran.

Taman Tabanas tak kehilangan pesonanya. Di atas sini, mereka bisa menikmati Semarang citylight. Lupakan sejenak kisah mistis yang beredar tentang taman ini. Konon menurut warganet yang maha benar, taman ini sering ada penampakan makhluk halusnya di kala malam. Ada pula yang mengaitkan Taman Tabanas dengan makhluk halus bernama Wewe Gombel, sebab lokasinya yang dekat tanjakan Gombel dan hutan. Makhluk seperti apa itu, Jose tak tahu.

Pria berbaju casual itu tak peduli dengan desas-desus angker tentang taman yang didatanginya pada malam terakhirnya di kotanya Gubernur Ganjar Pranowo. Perhatiannya tersedot oleh sosok tinggi dan tampan yang tak lagi sanggup berdiri tegak. Figur itu berdiri dengan penyangga di punggungnya. Sepotong tangan pucat berjari panjang sibuk menekan tombol shutter pada kamera keluaran terbaru.

“Ayah, kita pulang, ya. Nanti kita bisa ketinggalan,” ucap Jose lembut.

Ayah Calvin menoleh, menghentikan gerakannya memotret. Sorot kebingungan terpancar dari mata segarisnya.

“Ketinggalan apa, Sayang?”

“Ketinggalan kereta, Ayah.” Jose menjawab sabar.

Lebih dari satu kali dokter mewanti-wantinya untuk bersabar. Sejak jatuh sakit dan kejadian penusukan tempo hari, Ayah Calvin mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Perhatikan saja penyangga di punggung dan kecepatannya melupakan apa yang akan mereka lakukan. Padahal, Ayah Calvin yang meminta mereka pulang naik kereta alih-alih pesawat. Jose membatalkan tiket pesawat mereka demi menjaga ayahnya dari rasa kecewa.

“Tuan Calvin, Tuan Muda ....”

Sopir keluarga bertubuh gempal dan bertopi lebar mendekat. Tersenyum sopan pada dua majikannya, ia ingatkan mereka berdua soal waktu. Mereka tinggal punya waktu satu jam lagi untuk menuju Stasiun Tawang.

“Ayo, Ayah. Jangan sampai kita ketinggalan kereta,” kata Jose seraya menyambar pergelangan tangan Ayah Calvin. Dituntunnya pria tua yang masih terlihat rupawan itu ke mobil.

Mobil hitam itu melaju di sepanjang Jalan Setiabudi. Ayah Calvin menyandarkan kepala ke pundak Jose. Tatapannya lurus ke depan, ke arah ruas jalan yang dipenuhi kendaraan roda dua dan roda empat.

“Cepat sedikit ya, Pak,” suruh Jose pada sopirnya, diangguki lelaki berwajah ramah di balik kemudi.

Mereka tiba di Stasiun Tawang. Stasiun tua bersejarah di dekat Kota Lama. Samar terdengar alunan Gambang Semarang dari dalam stasiun. Itulah nada penanda kereta datang di stasiun ini. Uniknya Stasiun Tawang dari stasiun lainnya adalah mereka tak menggunakan Westminster Chyme sebagai pemanggil, melainkan lagu khas Semarang.

Apakah itu keretanya? Jose cemas melirik Tag Heuer di pergelangan tangan. Hatinya berangsur lega. Si kijang dari Surabaya masih setengah jam lagi jika datang sesuai jadwal.

Setelah check in di konter, Jose membawa ayahnya ke ruang tunggu. Persetan dengan orang-orang yang menatap aneh ke arah Ayah Calvin. Bagaimana tidak, ada pria pucat jalan-jalan di stasiun pada malam hari sambil menenteng kamera.

“Ayah, boleh pinjam kameranya?” Tangan Jose terulur, meminta kamera milik sang ayah.

Kamera segera berpindah tangan. Jose memasukkannya dengan aman ke dalam tas.

Lautan kenangan menyerbu dadanya. Belasan tahun lalu, Ayah Calvinlah yang kerepotan mengurusnya dalam berbagai perjalanan. Pesawat dan kereta api menjadi moda transportasi favorit mereka bila bepergian lebih dari 300 km. Mereka paling anti pakai mobil karena Ayah Calvin tak tahan mobilnya. Kini, Jose yang disibukkan dengan barang-barang. Belum lagi, ia harus menuntun Ayah Calvin di satu tangan.

Tepat pukul 20.38, Kereta Harina tiba. Kereta mewah berbadan stainless steel itu berhenti di jalur kedua. Para penumpang yang telah memegang tiket berhamburan masuk. Jose enggan meniru mereka.

“Pelan-pelan, Ayah. Ayo naik ....”

Dengan lembut, Jose membantu ayahnya menaiki tangga kereta. Didudukkannya Ayah Calvin ke tempat duduk nomor tujuh belas.

Enaknya naik kereta eksekutif. Jose hampir lupa empuknya reclining seat, keberadaan meja lipat plus colokan listrik, serta selimut dan bantal yang wangi. Ayah Calvin tersenyum. Senang karena ia bisa kembali naik kereta seperti bertahun-tahun silam.

Menurut jadwal, Harina berhenti agak lama di Stasiun Tawang. Namun, malam ini kereta serasa berhenti lebih lama dibandingkan jadwal yang tertera di aplikasi. Jose berkerut kening, lalu memutuskan menutup aplikasi perjalanan daringnya. Mungkin saja kereta ini perlu pengecekan dulu atau semacamnya.

Lihat selengkapnya