Di antara lalu-lalang pengguna stasiun, pria itu berindap pelan menyusuri peron ketiga. Matanya jelalatan mengawasi ketujuh model beserta kru yang baru saja melompat turun dari kereta. Sejenak para model dan kru berbincang dengan wartawan televisi yang meliput mereka. Seringai jahat bermain di bibir hitam itu. Si pria meremas tangan, netranya terfokus ke punggung gadis cantik berkalung kamera.
Itu target si bos, pikirnya. Bukan target sebenarnya, tetapi informan potensial. Segera saja si pria berjaket kulit dan bertudung hitam mengambil jarak aman.
“Liza, kami duluan, ya. Beneran nggak mau bareng?” tanya Laras.
Liza menggeleng. “Nggak, ah. Kamu duluan aja sama Manda dan yang lain.”
Nada suara Liza yang terdengar lesu membuat Laras tak tega. Dia bertukar pandang dengan Manda dan sesama model lainnya. Mereka bertujuh tahu persis bagaimana perasaan gadis itu karena ditinggal Jose.
“Liza, kamu cintanya sama Antonius atau Jose, sih?” celetuk Manda.
Si gadis berkalung kamera melengos, enggan menjawab. Dilambaikannya tangan pada Laras dan Manda. Keduanya mengerti, lalu bergegas pergi bersama kelima model lainnya.
Si pria tersenyum licik dari balik tudungnya mendengar percakapan tiga dara jelita itu. Ternyata si fotografer merana ditinggal manusia bandara. Ah, cinta. Sudah berapa tahun algojo bayaran ini tak memikirkan cinta? Bertahan hidup saja susah, apa lagi memikirkan hati dan perasaan orang lain.
Satu pertanyaan yang belum usai: kemana target buruannya pergi? Algojo bayaran itu hanya tahu kalau Jose naik Harina bersama ayahnya yang tak berguna dan penyakitan. Soal tujuan mereka, ia tak tahu pasti. Bandung? Mungkin saja, karena kantor pusat perusahaan Jose ada di sana. Cirebon? Kata bos besar, jaringan bisnis milik Ayah Calvin akan mengadakan ekspansi ke kota udang itu. Si algojo mencoba menduga-duga kota destinasi kepergian Jose sambil merangkainya dengan rute perjalanan si kijang dari Surabaya.
Bosan menerka-nerka, pria bertudung hitam mencoba mengejar Liza. Bagus juga kalau bisa mengorek informasi dari gadis semlohai itu. Lebih bagus lagi kalau bisa mencumbu tubuh indahnya. Seperti judul film saja. Si algojo bayaran mempercepat langkah sambil meneruskan kehaluannya.
Di pintu stasiun, langkah Liza melambat. Pelan ia menoleh ke belakang. Rasanya ada yang mengekori. Kedua mata sipitnya bersirobok dengan pria yang tingginya kelewatan dengan sepasang lengan berotot di balik jaket kulit tebal.
“Maaf,” kata Liza sopan. Ia tak bisa lagi pura-pura tidak peduli.
Lelaki sangar itu mengembangkan senyumnya. Tengkuk Liza bergidik. Senyum itu tidaklah selembut senyuman Ayah Calvin atau senyum memesona Jose. Aduh, kenapa yang diingatnya malah sahabat sendiri alih-alih tunangannya?
“Kau tahu ‘kan dimana keberadaan pacarmu yang ganteng?”
“Apa maumu? Cepat katakan!”
Si centeng bayaran pebisnis kaya bertepuk tangan. Bibirnya menggumamkan siulan pelan.
“Tenang, tenang dulu, Manis. Kita santai saja dulu. Atau mungkin, mau menghabiskan malam denganku?”
Keliru sekali dia meladeni orang seperti ini. Geram dan terganggu, Liza berbalik. Ujung sepatunya mengentak lantai stasiun. Lebih cepat ia keluar dari sini lebih baik.
“Hei, Cantik! Jawab dulu pertanyaanku! Kemana pacarmu yang naik kereta itu?”
Oh, rupanya si pria bertampang brutal mencari Jose. Liza tidak akan memberi tahu dimana keberadaan sahabatnya sampai kapan pun.
**
Rumah-rumah penduduk bagai berlarian melintasi jendela kereta. Barisan pepohonan melesat cepat dilatarbelakangi langit gelap berawan. Kereta melaju sederas kijang ke barat, terus ke barat.
Bukan pemandangan alam yang tertangkap indera penglihatan Jose, melainkan wajah Liza. Seraut wajah ayu itu terus menari-nari di pelupuk mata. Jose makin yakin bahwa dirinya sudah mulai tak waras. Objek yang dikiranya wajah Liza ternyata hanyalah sebatang pohon pinus. Ingin rasanya ia memukuli kepalanya sendiri kalau tak ingat dia dikelilingi puluhan penumpang kereta.
Ayah Calvin menyadari kegelisahan sang anak walau ia tak paham apa sebabnya. Ia memegang lembut tangan Jose, lembut bertanya.
“Anak Ayah kenapa?”
Buru-buru Jose berpaling dari jendela. Ditatapnya paras pucat Ayah Calvin. Di bawah terang lampu kereta, wajah ayahnya jauh lebih pucat lagi.
“Nggak apa-apa, Ayah. Ayah nggak tidur? Masih lama perjalanannya,” sahut Jose halus.