Untuk Hati yang Sekarat

princess bermata biru
Chapter #6

Malam Ini, Mereka Mabuk

Hueeek ... hueek ....”

Bunyi orang muntah terdengar dari bangku sebelah. Jose menoleh ke kiri. Sedikit kaget melihat Gio muntah-muntah. Apakah Gio mabuk perjalanan? Aneh sekali bila ada pengguna kereta eksekutif yang kelihatannya orang kaya bisa begitu.

“Ya ampun ... kamu kenapa, Babe? Ih, jorok banget muntah di sini. Malu-maluin, masa orang kaya mabuk?” cerocos Prissy.

Tak habis pikir Jose mendengarnya. Pacar sedang sakit, masih bisa mengomel. Prissy lebih banyak mengeluh ketimbang menolong. Baru saja Jose hendak menyodorkan tissue, sesosok tubuh langsing dengan betis jenjang bangkit dari kursi depan. Jeany mendekat. Satu tangannya merogoh saku, mengeluarkan botol kecil.

“Jeany, ngapain bawa-bawa begituan? Kayak udah jompo aja bawa minyak angin,” cetus Prissy setengah tertawa.

Mengabaikan Prissy, Jeany merawat Gio dengan telaten. Tingkah Jeany tak luput dari radar sensitif Jose. Kalau diperhatikan lebih detail, Jeany lebih pendiam dari Prissy di saat begini. Ia pun lebih perhatian pada Gio kendati tak terpilih untuk duduk di sampingnya. Bodohnya Gio memilih Prissy. Sebentar kemudian, Jose merutuki diri sendiri. Untuk apa mengurusi hubungan cinta orang lain?

Thanks, Jeany.” Gio tersenyum lemah, memegangi tangan berjari panjang itu.

No need to thanks. Lagian kamu kenapa sih, bisa muntah gini? Biasanya, ‘kan nggak apa-apa.”

Gio mengangkat bahu. Ia kembali memasrahkan tubuhnya ke sandaran punggung. Jeany masih setia berdiri di samping kursi Gio, tubuh sintalnya berayun mengikuti gerak kereta.

“Kamu beruntung.” Jose bergumam pada Gio dari sudut mulutnya.

“Kamu beruntung punya dua pacar secantik dan sebaik itu.”

Reaksi Gio di luar dugaan. Dia tergelak sampai memegangi perutnya. Jose melotot heran. Prissy ngakak, Jeany tersenyum lebar.

“Loh, benar, ‘kan? Mereka pacar kamu?” Jose kebingungan, mengawasi Gio yang terbahak-bahak hingga air matanya keluar.

“Pacar? Aku baru mau pacaran mereka kalau matahari terbit di utara! Bukan, mereka adikku!”

Giliran Jose speechless. Adik? Trio aneh ini kakak-beradik? Akan tetapi, kelakuan mereka mirip play boy dan dua selirnya.

“Iya, aku ini anak sulung dari Maudy Nicole, arsitek yang dikenal karena sering merancang mall. Ini adik-adikku, Clarensia Prissy dan Jeany Michelle.” Gio menepuk pundak dua adiknya.

“Tapi ... tapi kalian nggak mirip.” Jose gelagapan.

“Biasalah, kami dari keluarga campuran. Mama orang Jawa, Papa orang Cina.”

Kedua alis Jose terangkat tinggi. Ia tak suka dengan diksi ‘Cina’ yang dipilih Prissy. Menurutnya, penggunaan Tionghoa lebih halus.

“Kenapa? Nggak suka, ya, kalau pakai kata ‘Cina’? Btw, kamu Tionghoa juga, ‘kan?” Jeany nimbrung.

Jose mengangguk singkat. Jeany tersenyum, manis sekali. Seketika ingatannya melayang ke kota atlas. Apa yang sedang dilakukan Liza? Mungkinkah dia sudah tidur? Rindukah ia pada Jose?

“Hello ....” Tangan Jeany melambai ke arah Jose, seperti peserta uji nyali di acara misteri yang memutuskan menyerah sebelum waktu habis.

“Kkok melamun?”

“Nggak, nggak apa-apa. Maaf ya, aku salah sangka. Trus ngapain kalian bertiga jalan-jalan naik kereta pas weekdays begini?” selidik Jose.

“Protes sama Mama.”

Kompaknya Gio siblings. Mereka bicara berbarengan, tujuan bepergian pun sama. Rasa penasaran mendesak-desak kepala Jose, menuntut untuk dituntaskan.

Lihat selengkapnya