Untuk Hati yang Sekarat

princess bermata biru
Chapter #7

Podcast Mendekap Filateli

Stasiun Hall Bandung, 4 a.m.

Angin dingin yang bercokol di penjuru stasiun besar itu tak memutus niat mereka untuk menjemput tiga bersaudara. Seorang pria jangkung, berhidung mancung, dan berwajah perpaduan Indonesia-Turki mendorong kursi roda menyusuri lobi stasiun. Sekilas penampilannya mirip aktor ternama Cemil Faruk. Wanita berparas cantik yang terduduk di kursi roda membelai tangan pria itu. Mengisyaratkannya berhenti sebentar di depan gerai Hokben.

“Revan, maaf. Aku lapar,” ucap wanita itu polos, mengusap perut datarnya.

Revan tertawa. Didorongnya kursi roda Nicole ke dalam resto yang buka 24 jam itu.

Uap hangat dan aroma masakan Jepang menggelitik hidung mereka. Sepasang muda-mudi di balik konter menyerukan ucapan selamat datang. Resto nyaris kosong. Hanya ada dua lelaki setengah baya yang duduk terkantuk-kantuk di sudut sambil meneguk teh hijau. Setelah memilihkan meja yang nyaman untuk Nicole, Revan pamit sebentar untuk memesan makanan.

Sepasang iris hitam milik Nicole lekat memandangi punggung tegap Revan. Tiga puluh tahun tak terasa sejak pertama kali mereka bersahabat. Dari awal pertama saling kenal, Revan Tendean tak berubah. Bukan fisiknya, tetapi kebaikan hati dan kepeduliannya. Sangat wajar bila Nicole menyimpan perasaan lebih.

Kata orang, tak mudah bagi sepasang sahabat lelaki dan perempuan untuk menjaga kemurnian persahabatan. Ada saja di antara mereka yang memendam cinta. Cinta dalam semangat persahabatan bagai dua mata pisau: membahagiakan dan menghancurkan. Membahagiakan jika persahabatan ditutup dengan indah lewat pernikahan. Menghancurkan apa bila cinta menghancurkan istana persahabatan yang telah susah payah dibangun bersama.

Nicole tak perlu khawatir. Bunga cintanya mekar indah sebab Revan menyimpan rasa yang sama, bahkan lebih besar terhadap dirinya. Cinta terlarang ini malah menghancurkan hati anak-anak Nicole. Buktinya, mereka kabur dan baru pulang hari ini.

“Silakan dinikmati, Nyonya Nicole. Itadakimasu!”

Suara riang Revan membuat lamunan Nicole pecah berantakan. Pria pemilik harum khas Clive Christian itu telah duduk kembali ke sisinya. Dua baki hitam berisi salad, nasi, daging, udang, serta lemon tea tergenggam di tangan. Setelah meletakkan bawaannya ke meja, Revan melepas jas dan menyampirkannya ke punggung kursi.

Arigato, Revan.” Nicole tersenyum, meraih sumpit dengan tangan kirinya.

Suapan demi suapan mereka nikmati sambil mengobrol. Revan mengingatkan Nicole untuk makan pelan-pelan. Salah satu konsekuensi yang dihadapi insan pasca-stroke seperti Nicole adalah kesulitan menelan. Ia mesti hati-hati kalau tak ingin tersedak.

“Nicole, maaf. Ada tamu,” ujar Revan, membungkuk di depan wanita bergaun merah itu dan mengusap bibirnya dengan tisu.

Nicole langsung paham dengan ‘tamu’ yang disebut Revan. Ia lupa untuk mengunyah makanan di bagian mulut sebelah kiri. Nasi dan daging yang ia kunyah malah berada di mulut sebelah kanan, bagian yang masih terdapat sisa-sisa kelumpuhan. Mulut sebelah kanannya masih sulit merasakan. Akibatnya, setelah mengunyah dan menelan makanan, sering kali air liur dan sisa-sisa makanan menetes ke sudut bibir. Revan terbiasa, amat terbiasa mengusap bibir Nicole jika hal itu terjadi tiap kali mereka makan bersama.

Porsi makanannya tandas dalam waktu singkat. Selesai makan, Revan membuka laptopnya. Sudut mata Nicole menangkap kata ‘Spotify’ yang diketikkan Revan di laman pencari.

“Pagi-pagi udah buka podcast aja,” komentar Nicole.

“Cuma mau liat berapa yang udah dengerin podcast-mu,” balas Revan enteng.

Rasa hangat mengaliri leher Nicole. Perhatian sekali sahabatnya ini. Tidak hanya membuatkan podcast, Revan pun rajin mengeceknya.

“Oh ya, aku mau menunjukkan sesuatu.” Nicole tiba-tiba teringat koleksi prangko terbarunya di tas.

“Selesaikan dulu makanmu, baru kamu tunjukkan.”

Nicole menurut. Usai menghabiskan suapan terakhir, dibukanya tas Hermes-nya. Revan menatap terkesima koleksi prangko seri Jepang di tangan perempuan yang sangat dicintainya.

“Ini dari siapa? Kamu ‘kan belum pernah ke Jepang lagi tahun ini.”

“Temanku di Jepang yang membelikannya. Ya, aku memang tak pernah ke sana lagi. Sejak Jeany cuti kuliah dan ka ....”

Kalimatnya menggantung. Revan memajukan tubuh, mengurung Nicole dengan sepasang lengan kekarnya. Memberi wanita spesial itu tempat untuk bersandar.

“Aku kangen anak-anakku.” Nicole bergumam lirih, membenamkan wajah di dada Revan.

Sejak bercerai dengan suaminya, bergulat dengan tumor rahim untuk melahirkan ketiga anak, sampai akhirnya terserang stroke di San Fransisco, Nicole amat tegar. Air matanya akan mengalir bila teringat putra-putrinya. Nicole melanjutkan curhat di sela sedu-sedan.

“Buat apa segala pameran filateli kreatif, penghargaan, uang, presentasi, dan event disabilitas kalau tak ada anak-anakku? Merekalah hartaku yang paling berharga, permata hatiku.”

Sejurus kemudian, Revan mempersempit jarak di antara mereka. Didekapnya Nicole erat. Batinnya tak kalah sedih. Pria lima puluh satu tahun itu takut ini adalah pelukan terakhirnya dengan Nicole sebelum ketiga anaknya pulang. Hati mereka dicekam kesedihan yang sama.

“Aku menyesal sekali saat Jeany memutuskan cuti kuliah selama setahun. Padahal, ia sempat dapat beasiswa pendidikan dari Pemerintah Jepang. Waktu itu, dia juga diterima dudisi sebagai model internasional. Kenapa dia harus cuti dan pergi bersama kakak-kakaknya?”

Masih saja Nicole tergugu. Lengannya terkalung di leher Revan. Wajah mereka teramat dekat.

“Aku akan melakukan apa pun agar ketiga anakku kembali. Bahkan, bila aku harus tinggal di Jepang untuk menemani Jeany kuliah dan merintis kariernya sebagai model.”

Mendadak Revan mengeratkan pelukan. Nicole akan tinggal di Jepang? Ah, ini menyakitkan. Pada saat bersamaan, sebuah lagu mengalun di penjuru resto.

Lihat selengkapnya