Ting
Penanda notifikasi WA di iPhone-nya berbunyi. Jose menurunkan bukunya. Satu jam lewat sejak ia bermalas-malasan di atas ranjang sambil membaca buku. Buku fisik, sesuatu yang telah lama ditinggalkan banyak orang tapi masih ia pertahankan.
Mata sipitnya melebar tak percaya melihat nama pengirim pesan. Mau apa Liza menghubunginya lagi? Komitmennya untuk menjauhi Liza berantakan seketika.
“Jose, bisa telpon? Aku mau ngobrol,” tulis Liza.
Sengaja pria berkaus polo putih itu membaca pesan Liza tanpa membukanya. Agar ia tak perlu meninggalkan tanda centang biru. Ia menimang-nimang benda perak di tangannya.
“Nggak bisa.”
Akhirnya, hanya dua kata itu yang Jose ketikkan. Pikiran nakal bermain di otaknya. Membayangkan Liza yang kesal dan mau membanting HP-nya. Tidak, tidak mungkin. Liza tidak sechildish itu.
“Kenapa nggak bisa? Ini penting.” Liza memaksa. Terselip banyak emoji wajah sedih dalam balasannya.
“Sibuk.”
Jose meringis membaca tulisannya sendiri. Lalu berganti memandangi buku tebal yang tergeletak pasrah di bawah guling. Nanti dia perlu mencari definisi kata ‘sibuk’ di KBBI.
“Sibuk apaan? Kata ART-mu, kamu lagi santai di kamar. Ngantor aja nggak.”
Seraut wajah oriental itu memerah. Malunya sudah ketahuan bohong. Liza berkonspirasi dengan asisten rumah tangganya. Radar kewaspadaannya jadi sensitif.
Tak berani Jose membalas. Dia mondar-mandir di kamar tidurnya yang luas, memandangi kertas dinding mahal yang baru diganti. Tatapannya jatuh ke layar TV yang hitam kosong. Sulitnya berkelit dari Liza.
“Ayolah, Airport Man. Aku perlu bicara denganmu.”
Bermenit-menit tanpa balasan, Liza mulai agresif. Diterornya Jose dengan potongan pesan yang sama. Permohonan untuk bicara via telepon dikirimnya puluhan kali. Liza pun mengirimi gift bergambar bayi menangis, orang tertawa, orang duduk terkantuk-kantuk di depan laptop, dan emoji tangis penuh sekali. Jose diserang pusing mendadak. Ada apa sih, wanita kesayangannya ini? Belum pernah dia bertingkah absurd begini. Ingin ia berteriak, berteriak ke muka Liza dan meminta gadis itu menjauhinya.
“Sudah kubilang aku sibuk. Ngerti dikit kenapa, sih? Memangnya kamu nggak ada kerjaan hari ini? Kenapa nggak telpon CALONmu?” Jose menyalakan capslok pada kata terakhir. Peduli amat bila Liza berpikir macam-macam.
Kini, gantian Jose yang menunggu jawaban. Seperempat jam Liza tak merespon. Kekhawatiran mengusik perasaan. Apakah ucapannya terlalu kasar? Jangan-jangan gadis itu sakit hati, lalu memutuskan mendiamkan Jose. Ataukah Liza kehabisan kuota? Jose tertawa dalam hati. Opsi terakhir sangat tidak Liza Soeratman.
Seperempat jam lagi berlalu. Tak ada pesan masuk dari Liza. Hanya notifikasi tak penting dari grup kantor dan grup alumni. Terpikir di benak pria tampan itu untuk menelepon Liza kalau sampai nanti malam Liza tidak membalas chatnya. Baru saja ide itu terlintas, tetiba Liza mengirimkan video. Rasa penasaran membuncah di dada Jose.
Sebuah lagu dinyanyikan Liza untuk Jose. Gitar putih terbaring nyaman di pangkuannya. Jose terpesona menatap layar. Bidadari bergitar putih, ia membatin. Serasa seperti film ala raja dangdut saja: ksatria bergitar. Aduh, tampaknya pikirannya mulai melayang kemana-mana. Dalam video itu, terlihat Liza bernyanyi dengan merdu.
“Aku yang minta maaf walau kau yang salah ... aku ‘kan menahan walau kau ingin pisah ... karena kamu penting, lebih penting dari semua yang kupunya.”
Desir hangat merayapi hati. Ia tahu persis lagu ini. Lagu yang menemani perjalanannya, Liza, dan Ayah Calvin dari rumah sakit. Kelak Jose takkan melupakan lagu itu.
Selanjutnya, Liza kembali membombardir dengan pesan teks. Mengeluhkan sulitnya merekam lagu. Ia perlu mengulangnya tiga kali. Jose menahan tawa. Kalau rekaman untuk podcast atau vlog, bisa seharian.
Tapi ....
Apa maksud Liza mengirim lagu itu? Perlahan tapi pasti, ia resapi liriknya. Liza menganggap Jose lebih penting. Itukah yang coba ia sampaikan? Lebih penting mana, Jose atau Antonius? Isi perutnya serasa dibolak-balik. Jose girang, amat girang.
Rasa penasarannya bangkit. Apakah Liza semanja ini pada Antonius? Mengapa Liza, yang notabenenya telah jadi milik orang, bersikap seperti pasangan kekasih pada dirinya? Masihkah ada harapan untuk putra Ayah Calvin?
Cepat dikuasainya diri. Ia tak boleh banyak berharap. Menanam harapan terlalu tinggi bisa membuat sakit hati. Ayah Calvin pernah mengajarinya untuk mengatur harapan.
Dia coba berpikir realistis. Saat ini, Liza telah termiliki. Sekali pun gadis itu mencintainya, tetap saja ada perintang di depan mereka. Jose tak bisa seenaknya membawa lari Liza demi ego semata.
Liza merespon perkataannya dengan lagu. Ia tak mau kalah. Piano di dalam kamarnya berdenting lembut. Benda elektronik berwarna perak tergeletakdi atasnya, merekam setiap lirik dan melodi.
Pernah aku jatuh hati
Padamu sepenuh hati
Hidup pun akan kuberi
Apapun kan ku lakui
Tapi tak pernah ku bermimpi
Kau tinggalkan aku pergi