Untuk Hati yang Sekarat

princess bermata biru
Chapter #9

Aku Ingin Bunda Mati

Langit senja ungu bersaput merah keemasan. Revan bersiap pulang. Sebelum ia sempat meraih kunci mobil, lagi-lagi Nicole menahannya.

“Tetaplah di sini sampai waktu makan malam, Revan. Aku ingin kamu makan malam di sini,” bujuknya.

Perasaannya tak enak. Di satu sisi, dia tahu kehadirannya tidak disukai ketiga anak Nicole. Di sisi lain, ia ingin menghabiskan waktu lebih banyak lagi dengan perempuan itu. Kebimbangan Revan sirna ketika Nicole menyentuh pelan lengannya.

“Kamu dibutuhkan di sini. Tetaplah tinggal sebentar lagi.”

Revan memaksakan senyum. Tak kuasa dia menolak. Nicole telah sempurna mencuri hatinya, membuatnya takluk dan bertekuk lutut. Di ruang sebelah, ketiga anak Nicole melotot dari balik kaca partisi. Mengawasi kemesraan ibu mereka dan sahabat baiknya.

Gio dan Prissy mencak-mencak. Jeany kalem, tapi tetap saja menyimpan kecewa. Dibandingkan kedua kakaknya, gadis anggun setinggi seratus tujuh puluh lima senti dan berbobot empat puluh satu kilo itu jauh lebih tenang. Dia tetap belum bisa menerima bila ibunya bersama Revan.

Masjid Jami’ di samping rumah Nicole mengumandangkan syair-syair Tuhan. Revan beranjak bangkit. Nicole menatapnya, tersirat pemahaman di sana.

“Kamu bisa salat di kamarku, Revan.”

“Ah, tidak usah. Aku ke masjid saja.”

Nicole berkeras menyuruh Revan memakai kamarnya. Jelas saja sikap permisifnya ini menuai reaksi kontra dari tiga saudara. Mereka jengkel sebab Nicole kelewat baik.

“Kayak nggak ada ruangan lain aja,” cibir Prissy. Di sebelahnya, Gio mengangguk-angguk kuat.

Jeany melipat lengan. Menatap nanar Revan yang berjalan ke sayap kanan rumah. Sebenarnya, bukan pemandangan baru ketika Revan meminjam salah satu ruangan di rumah ini untuk salat. Namun, gara-gara hubungan yang merenggang, ketiga anak itu jadi sentimen dengan Revan. Apa pun yang dilakukan Revan menjadi negatif di mata mereka.

Revan membuka pintu putih berpelitur mengilap itu. Langkah kakinya teredam karpet. Tak perlu lagi menggunakan sajadah karena karpet biru gelap di kamar itu sudah sangat bersih. Sesaat Revan mencoba mengingat-ingat arah kiblat di kamar itu. Voila, kotak ingatannya terbuka. Arah kiblat berada persis di depan dinding yang terisi penuh foto Nicole.

Segera saja ia mendirikan salat Maghrib. Revan berlama-lama dalam sujudnya demi mempererat kedekatan dengan Illahi. Saat sujud kedua di rakaat kedua, tiba-tiba Revan dilanda deja vu.

Memorinya berkelana ke masa-masa lima belas tahun lalu. Kala itu, ketiga anak Nicole masih kecil. Tak jarang mereka masuk ke ruangan tempat Revan salat tiap kali jurnalis dan praktisi konten kreatif itu berkunjung ke sini. Si bungsu Jeany akan merayap naik ke punggung Revan saat dirinya bersujud. Revan sama sekali tak terganggu. Bahkan dia sengaja menunda untuk bangkit dari sujud sampai Jeany puas bermain-main di punggungnya. Teringat hal itu, mata Revan menghangat.

Mengapa hubungannya menjadi renggang dengan Jeany, Prissy, dan Gio? Mereka autokecewa padanya saat tahu perasaan yang sesungguhnya pada sang ibu. Masihkah trauma perceraian mama-papa mereka membekas di sanubari? Entahlah, Revan bukan cenayang.

“Assalamualaikum warahmatullah ....” Revan menoleh ke kiri.

Tepat pada saat itu, terpandang olehnya foto Nicole. Foto di sebelah kanan menampilkan potret Nicole berlatar belakang pantai berpasir putih. Revan ingat foto itu diambil dalam perayaan ulang tahun Nicole yang kelima puluh. Foto di sampingnya menampakkan Nicole sedang bernyanyi dalam Kebaktian Natal. Hadir pula Jeany yang bermain piano, Gio bermain gitar, dan Prissy yang bergabung dengan tim koor. Nicole dan anak-anaknya aktif dalam pelayanan gereja.

Mata Revan berkaca-kaca. Foto itu sepedih luka yang tersiram alkohol. Foto kegiatan pelayanan itulah yang menyadarkan Revan pada pemikiran realistis. Hubungannya dan Nicole sebatas sahabat, tidak boleh dilanjutkan. Mereka dipaksa tunduk pada ketidakramahan orang Indonesia atas hubungan cinta beda agama. Nicole, dengan reputasinya sebagai pengikut Kristus yang religius, jelas tak mungkin berpindah mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Begitu pula Revan. Sebesar apa pun cintanya pada Nicole, ia tidak akan menukar keyakinannya.

Revan menyeka ujung mata. Hatinya ngilu. Mencintai tidak harus memiliki: mudah terucap, susah dipraktikkan. Sisi lain hatinya, bagian yang paling dekat dengan Nicole, berteriak ingin merebut filatelis itu dari anak-anaknya.

“Astaghfirullah.” Revan beristighfar pelan, menggeser pandangannya ke lemari besar berisi ribuan koleksi prangko milik Nicole.

Prangko-prangko itu pun meneriakkan kenangan. Sejak terserang stroke, Revan mendorong Nicole bangkit lewat buku dan filateli. Telah banyak pameran filateli kreatif yang digagas Nicole. Dia sendiri yang menyiapkan pameran itu dengan sebelah tangan. Dada Revan buncah oleh kekaguman. Ia mencintai Nicole, teramat mencintainya.

**   

Ayah Calvin terbatuk berkali-kali di kamar mandi. Entah mengapa, tenggorokannya sakit sekali. Seperti ada beban berat, tapi tak ada yang dapat ia keluarkan.

Dengan sedih, dia pandangi pantulan wajahnya di cermin panjang yang tergantung di atas wastafel. Pias, letih, dan sakit. Tiga itulah yang pertama kali terlintas untuk melukiskan kondisinya. Benarkah Ayah Calvin serapuh ini? Benarkah ia ayah tak berguna?

Sesal mengendap di dada. Ingin rasa diri ini kembali bekerja. Ayah Calvin terpekur memikirkan biaya sekolah Jose dan keperluan lainnya. Benar bahwa seluruh lini bisnisnya dapat diurus oleh orang-orang kepercayaan. Namun, tetap saja ia memikirkan hal itu.

Ia harus kembali bekerja. Ayah Calvin membulatkan tekad. Akan ia lawan rasa sakit ini demi masa depan Jose. Bagaimana Jose akan bersekolah dan meraih pendidikan terbaik bila perusahaan tidak stabil? Beberapa jurus kemudian, Ayah Calvin melangkah keluar dari toilet kamarnya.

Kamar utama senyap. Lampu utama dan dua batang lampu tidur di kiri-kanan tempat tidur telah dimatikan. Bedcover baru saja diganti. Hanya televisi dan pendingin udara yang tetap menyala. Ayah Calvin mengenyakkan diri di sofa, lalu mulai membuka laptop. Ia mengecek e-mailnya sesekali masih terbatuk.

Tak ada e-mail penting. Diliriknya jam dinding bulat merah di dekat nakas. Pukul enam pagi, saatnya sembahyang.

Pria jangkung dan pucat itu berlutut memegang hio. Altar sembahyang berdiri tegak di hadapannya. Berulang kali konsentrasinya terganggu karena batuk yang mendera. Walau kurang sehat, Ayah Calvin khusyuk dengan doanya.

Tanpa dia sadari, pintu kamar mengayun terbuka. Jose melangkah masuk tanpa suara. Pedih hatinya menyaksikan Ayah Calvin sembahyang. Bukan, bukan karena hatinya terinfeksi virus intoleransi. Ia bermuram durja karena sang ayah telah melupakan banyak hal, termasuk kenyataan kalau dia telah lama berpindsh agama mengikuti putranya.

Akan tetapi, ada yang membuat Jose lebih muram lagi. Ayah Calvin terbatuk-batuk. Kondisi kesehatan ayahnya sungguh menguras perasaan Jose. Bagaimana ia bisa tenang mengurus perusahaan sedangkan Ayah Calvin sakit?

“Sayangku ....”

Ayah Calvin menyudahi sembahyangnya. Ia melangkah ke samping Jose.

“Kamu udah siap? Kita ke sekolah sekarang, yuk. Ada PR, nggak?”

“Nggak ada, Ayah.” Jose berbohong.

Mata Ayah Calvin menginspeksi penampilan Jose dari ujung kaki hingga ujung rambut. Kerutan samar muncul di alisnya.

“Loh, kok nggak pakai seragam? Seragammu mana, Jose?”

Lihat selengkapnya