Loper koran membunyikan lonceng sepedanya di depan sebuah rumah besar, bercat putih, berpilar banyak, dan bertingkat tiga. Bocah tampan itu berlari kecil ke gerbang. Gerbang utama yang berat itu susah payah dibukanya.
Koran pagi berpindah tangan. Sesaat Jose memegangi koran yang masih menguarkan aroma khas kertas baru. Ia tak tahu bagaimana cara membayar koran ini. Ataukah kakak penjual koran mau membagikannya gratis?
“Ini buat Jose?” tanyanya lugu.
Kakak loper koran mengangguk mantap. Ia hendak melompat kembali ke sadel sepedanya ketika Jose menahannya.
“Tapi ... tapi Jose nggak punya uang buat beli ini.”
Perkataannya jujur tidak dibuat-buat. Jarang sekali Calvin memberinya uang. Bila Jose ingin membeli sesuatu, ia tinggal bilang pada ayahnya. Benda yang diinginkan akan didapatnya hari itu juga. Menurut Calvin, anak sekecil Jose belum boleh memegang uang sendiri.
Mendengar ucapan polos Jose, kakak loper koran menggurat senyum. Ditepuk-tepuknya kepala bocah delapan tahun itu.
“Kamu nggak usah bayar. Korannya udah dibayar sama ayah kamu.”
Mata Jose melebar tak percaya. Bukankah dari Hari Minggu yang lalu ayahnya terus-terusan mengurung diri di kamar? Jose saja tak bisa bertemu.
“Ayah bayar koran ini? Kapan Ayah keluar kamar?” Jose menyerang si kakak loper koran dengan pertanyaan.
Sejenak loper koran itu menyisiri rambut gondrongnya. Bingung bagaimana menerangkan pada anak kecil tentang sistem berlangganan koran.
“Ayah kamu udah bayar koran buat sebulan,” katanya akhirnya.
Sebulan? Jose terperangah. Berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk membayar koran pagi selama sebulan? Pusing kepala Jose menghitungnya. Pasti banyak sekali.
Setelah si kakak loper koran pergi, Jose menutup gerbang. Iseng dibukanya halaman demi halaman koran. Banyak sekali tulisannya. Ada juga gambar berwarna-warni: gambar mobil, rumah, orang pakai jas, jalan raya, dan macam-macam lagi.
Jose terus berjalan masuk ke ruang tamu sambil membaca koran. Ia tak peduli risiko menabrak guci atau pajangan kristal. Sebagian besar beritanya tidak ia pahami. Barulah ia tersenyum saat membaca berita olahraga. Di situ ada foto pemain basket favoritnya.
Halaman koran kembali dibalik. Langkah kaki kecilnya terhenti. Perhatian Jose tersita oleh foto besar Alea.
“Halo, Bunda!” sapa Jose, melambai riang ke arah potret sang bunda.
Foto itu diam membeku, tak seperti foto sihir di serial Harry Potter yang bisa bergerak-gerak. Alea terlihat cantik sekali dalam balutan gaun panjang berwarna merah darah. Rambutnya disanggul memperlihatkan lehernya yang putih. Senyum manis terpulas di bibir ranumnya. Tak berkedip Jose menatapi Alea.
Ia keasyikan memandangi foto Alea hingga baru menyadari sebuah tulisan merah di kanan atas foto:
Selamat Jalan Istri Tercinta, Sebuah Obituari untuk Alea
Oleh: Calvin Wan
Demi membaca nama penulis artikelnya, Jose terpaku. Ayah dan bundanya ada di halaman koran yang sama. Benak kekanakannya membuat analisis: ayahnya menulis tentang bundanya. Itu pasti karena ayah sayang bunda. Tergugah rasa ingin tahu, Jose meneruskan membaca:
Malam itu, langit bagai runtuh menimpa kepala saya. Dada saya seperti tertimpa batu bata. Sebuah kabar yang tak pernah saya inginkan datang di Whatsapp: kecelakaan mobil di Semarang. Mobil terbakar dan penumpangnya tewas terpanggang. Kesedihan saya takkan sedalam ini andai penumpang mobil naas itu bukanlah Alea, istri saya. Seminggu penuh Alea pergi meninggalkan rumah kami untuk mengurus pameran. Bukan pameran biasa, mengingat ini merupakan pameran kain tenun pewarna alam karya para perempuan tangguh.
Batin saya tergurat penyesalan. Saya merasa bersalah karena tak bisa menemani Alea ke Semarang. Betapa egoisnya saya yang terlalu mementingkan acara di yayasan. Seharusnya kepentingan saya dapat dikesampingkan dan kecelakaan ini tak perlu terjadi.
Kali terakhir saya bertemu dengannya minggu lalu. Saya membantunya berkemas-kemas sebelum pergi ke Semarang. Tak tampak sedikit pun pendar ketakutan di matanya. Ia tak henti mengukir senyum. Kami selalu yakin semuanya akan baik-baik saja. Hanya pelukannya yang berbeda: Alea memeluk saya kuat-kuat sebelum masuk ke mobil.
Komunikasi terus terjalin. Saya memantau jalannya pameran via video call. Di sela kesibukannya, Alea rutin mengirimi saya foto-foto tentang pameran. Kami sempat bercanda kalau Alea ingin anak perempuan agar bisa diikutkan dalam peragaan busana. Terakhir kami berkomunikasi beberapa jam sebelum Alea berencana pulang ke Bandung.
Pulang. Ya, dia benar-benar pulang. Alea sudah pulang ke pangkuan Tuhan. Namun, dia takkan pernah meninggalkan relung hati saya.
Alea wanita istimewa. Seorang lulusan Colorado University yang cerdas, cantik, dan penuh semangat. Kerendahan hati berbanding lurus dengan kelembutannya. Pribadinya tulus mengesankan. Tutur katanya santun menyenangkan. Tak pernah Alea mencari perkara dengan siapa pun. Dia selalu menjaga hubungan baik dengan teman-temannya.
Banyak orang hanya mengenal Alea sebagai mantan Gadis Sampul dan direktur eksekutif sebuah yayasan yang menangani hak-hak perempuan. Sebagai suaminya, saya kenal Alea lebih dari itu. Dia selalu dan akan selalu istimewa bagi saya. Alea pergi meninggalkan harta paling berharga yang dia titipkan pada saya: Jose. Malam itu, mobil yang mengalami tabrakan beruntun di Semarang panas terpanggang. Namun, hati saya dingin dihujani air mata. Selamat jalan, Alea. Semoga kamu selalu berbahagia di surga sana.
Jose menurunkan koran dari wajahnya. Hampir semua tulisan Calvin tak ia pahami. Kalimatnya panjang-panjang. Walau begitu, Jose sekilas tersenyum melihat namanya tertera di sana.
Dengan koran di satu tangan, Jose mengayun langkah ke kamar utama. Dia berseru riang di depan kamar Calvin.
“Ayaaaah! Ayah dan Bunda masuk koran!”
Tak ada sahutan. Jose berangsur kecewa. Dia pikir Calvin akan senang karena namanya masuk koran. Jose pun masuk kamar tanpa mengetuk pintu.
Calvin duduk bersandar di kepala ranjang. Sesuatu yang besar bertengger di lengannya. Setelah dilihat lebih dekat, ternyata benda itu adalah pigura foto Alea. Jose merangkak naik ke tempat tidur dan mengguncang-guncang lengan Calvin yang satunya.