Untuk Hati yang Sekarat

princess bermata biru
Chapter #11

Until 3 p.m.

Tikus. Mulai sekarang, Nicole akan melabeli hewan pengerat itu sebagai makhluk nakal. Gegara tikus, salah dua AC di rumahnya harus diganti. Meski ia akui bukan sepenuhnya kesalahan si tikus. Umur mesin-mesin pendingin udara itu mencapai belasan tahun.

Nicole kepanasan. Jeany kegerahan. Prissy mengungsi ke lantai bawah agar badannya tetap sejuk. Gio tak terpengaruh karena AC di kamarnya masih bagus. Rumah tanpa AC jadi siksaan buat mereka.

“Tukang AC ... tukang AC ... aduh, mana sih, nomornya?” Nicole bergumam sendiri, membaca daftar kontak di ponselnya. Keadaan pasca-stroke dimana otak kanannya pernah terendam darah dua puluh persen

Membuat mata dan tangannya bekerja lebih lambat.

Prissy berdecak tak sabar. Direbutnya ponsel dari tangan sang ibu. Kurang dari semenit, nomor tukang reparasi AC sudah ditemukan.

“Oh, terima kasih, Sayang.” Nicole bernapas lega.

Secepat kilat, jemari tangan Prissy menari-nari lincah di atas bidang datar layar sentuh itu. Hatinya melenguh kecewa. Pesannya hanya meninggalkan satu tanda centang.

“WA-nya nggak aktif, Ma,” tukasnya kecewa.

Nicole mengusap wajah. Dari sekian banyak masalah di rumah yang diprediksi bakal terjadi, AC rusak menjadi problem yang merepotkan. Tak biasa ia berdiam di rumah dengan hawa panas. Bandung tak sesejuk dulu. Di tengah kota pun perlu pendingin udara.

“Panggil Gio,” suruh Nicole.

“Loh, Kak Gio, ‘kan bukan anak Eelektro, Ma.”

“Bukan. Siapa tahu dia kenal tukang servis AC yang lain.”

Tanpa perintah dua kli, Prissy bergegas ngacir ke kamar kakaknya. Mengempaskan Gio dari waktu magernya. Nyaris saja Prissy terkena lemparan bantal kalau gadis itu tak buru-buru berkoar,

“Sayang, my Baby, kakakku yang ganteng, dipanggil Mama tuh.”

“Ngapain? Suruh benerin keran lagi?” tebak Gio sok tahu.

“Udah, buruan!” Prissy mendorong-dorong tubuh atletis Gio ke luar kamar.

Memanggil Gio sama nihilnya. Ia tak punya kenalan tukang servis AC.

“Wah, Mama salah orang. Dari dulu cita-citaku jadi desainer grafis, bukan tukang servis. Jadi aku nggak gaul sama mereka.”

Di tengah kegerahan itu, terdengar deru mobil beradu derak kerikil memasuki halaman rumah. Prissy dan Gio melongok ke jendela. Bibir mereka mengerucut tak senang.

“Om Revan,” desis mereka sebal, lalu ngibrit ke kamar Gio.

Nicole menghela napas pelan. Bangkit dengan hati-hati dari kursi rodanya, lalu menuruni anak tangga satu per satu.

“Kamu kenapa? Kok mukanya merah gitu? Sakit, ya?” tanya Revan seperti pemuda yang sok perhatian pada pacarnya.

Nicole menggeleng letih dan menjelaskan keadaannya. Di luar dugaan, Revan menawarkan diri untuk memasang AC baru dan membawa pergi AC bekas untuk dikanibalisasi tukang di dekat rumahnya.

“Wow, kamu bisa benerin AC, Revan? Makasih ya,” ujar Nicole, matanya berbinar senang.

Ketiga anak berdeham keras dari tempat masing-masing. Mereka jengkel sekali dengan kedatangan Revan. Prissy sudah gatal ingin menyambit pria itu dengan sandal kalau tak ingat sopan santun. Gio melesat ke gudang belakang. Diambilnya bulu ayam dan diletakkannya ke ruangan yang akan dimasuki Revan.

“Kurang mantap, Sayang. Palingan Om Revan cuma bersin-bersin atau kesandung.” Prissy mengomel dengan suara rendah.

“Biarin. Yang penting dia nggak betah di sini. Awas aja, kalau sampai jam tiga sore dia nggak cabut.”

Lihat selengkapnya