Untuk Hati yang Sekarat

princess bermata biru
Chapter #13

Seusai Pesta

Keramaian membuatnya jengah. Jose tak begitu suka jadi pusat perhatian. Banyak orang tak henti menatap cucu Opa Werner. Tak memedulikan perasaan sang cucu yang sedang diperhatikan.

Sama seperti ayahnya, Jose menyukai keheningan. Ia penikmat sepi tapi tak kesepian. Lagi-lagi Calvin lengah. Jose terlepas dari pengawasannya. Ia diajak ngobrol oleh sepupu jauh yang pernah bekerjasama dengan perusahaannya.

Meja sialan. Jose tersandung kaki meja yang panjang. Jatuh itu tidak enak, malunya setengah mati. Buru-buru bocah ganteng berjas merah tersebut bangkit dan merapikan rambutnya. Oh syukurlah, belum ada yang tertawa.

Ia bersiap kabur lagi ketika seseorang memegang bahunya dari belakang. Tangan kokoh berjari gemuk ini, sepertinya milik Opa Werner.

“Jose, mau kemana? Cucu Opa di sini aja,” cegatnya ketika Jose bersiap menghindar.

Terpaksa ia menurut. Opa Werner menggiringnya ke meja utama. Oma Audy duduk dengan anggun, kalung berliannya berkilau tertimpa cahaya lampu kristal. Untuk kedua kalinya malam ini, Opa Werner mendudukkan Jose ke pangkuannya.

“Sini Nak, sini dekat Oma. Ah, Werner, bagus sekali kaubawa cucu kita ke dekatku. Aku rindu padanya.” Oma Audy tersenyum sayang, mengacak-acak rambut Jose.

Jose meringis. Rambutnya yang tersisir rapi jadi berantakan lagi. Ringisannya ditingkahi tawa merdu Oma Audy.

“Lucu sekali cucuku. Memang tidak mirip Calvin-ku, karena waktu kecil dia lebih kalem. Mungkin dia mirip Alea.”

Orang dewasa memang aneh. Mereka kerap kali membandingkan anak kecil dengan mantan anak kecil. Jose ingin, ingin sekali bebas dari meja utama. Meja setinggi dada berhias piala-piala kristal itu serasa memenjarakannya.

“Oma, Opa, Jose mau pipis,” kata bocah tampan itu, memasang ekspresi paling meyakinkan.

Opa Werner bersiap bangkit. Sebelum bisa dicegah, Jose berlari pergi. Oma Audy meneriakinya.

“Jose, kamar mandinya di sana!”

Kaki-kaki kecilnya cepat berlari. Tangan Jose terulur ke pintu ganda yang membuka ke teras depan. Akan melegakan rasanya bila ia dapat menghirup udara segar di luar.

Celakanya, Jose kesulitan menarik gerendel pintu. Beratnya dua kali lipat dari yang ia duga. Jose menarik dan terus menarik, sampai akhirnya ....

“Hai, kamu cucunya Pak Werner dan Bu Audy, kan?”

Sebuah suara mezosopran memanggilnya. Merasa terselamatkan, Jose memutar badan. Perempuan cantik pembawa nampan berderap menghampirinya. Dia tak lagi membawa nampan.

“Aku mau keluar.” Jose sedikit merajuk.

“Kenapa? Nggak suka pestanya?”

“Iya.”

Perempuan itu manggut-manggut. Dia pun membantu Jose membuka pintu dan menemaninya ke serambi depan.

Mereka duduk bersisian di kursi rotan. Sekali-dua kali keduanya beradu tatap. Jose menemukan sorot kehangatan di mata biru perempuan itu. Oh iya, matanya unik sekali. Jarang ada perempuan bermata biru di Indonesia.

“Tante,” panggil Jose perlahan.

Perempuan itu menoleh, rambut coklatnya berkibar dibelai angin malam. “Ya?”

“Makasih ya, udah bantu aku keluar dan temenin aku.”

“Sama-sama ... er ... Jose.”

Seperti ada tangan yang menjatuhkan selimut sutra hangat ke hati Jose. Nyaman rasanya mendengar perempuan itu menyebut namanya.

“Kalau Tante, namanya siapa?”

“Silvia, Silvia Hannon.”

Udara sejuk memicu kantuk. Kepala Jose terangguk, sesekali membentur kusen jendela. Perempuan berambut coklat sigap menarik kepala bocah itu ke bahu kurusnya. Jose terkejut dengan perlakuan ini.

“Maaf, kamu kaget, ya? Tante takut kepala kamu kebentur lagi,” katanya kikuk.

“Nggak apa-apa kok, Tante. Jose senang. Makasih, Tante.”

Kelopak matanya kian berat. Sebelum jiwanya terjun bebas ke lautan mimpi, Jose masih sempat menggumamkan doa tidur dan doa untuk Calvin. Silvia samar-samar mendengarnya. Hatinya tergelitik penasaran.

“Kamu tidak berdoa untuk Bundamu?” tanya Silvia.

“Buat apa? Bunda bisa minta apa saja ke Tuhan. Bunda, ‘kan sudah ada di surga.” Jose menyahut polos.

“Oh, maaf.”

Tak sempat menanggapi, Jose sudah jatuh tertidur. Kepalanya terkulai di pundak Silvia. Selama sisa pesta, Silvia tetap di sana sambil menjaga Jose. Dia tak berniat ikut teman-temannya sesama pekerja katering untuk menggasak sisa makanan yang cukup banyak di dapur. Absurditas orang kaya menjadi berkah terselubung bagi pegawai katering: orang kaya memesan banyak makanan, membayar mahal, dan menyisakannya. Sisa-sisa makanan yang masih sangat layak menjadi rezeki tambahan di luar uang dan tips.

Jangan samakan Silvia dengan pegawai katering lainnya. Toh ia pekerja lepas di katering itu. Silvia hanya mencari pemasukan tambahan selagi belum mendapat pekerjaan tetap. Semenjak kantor lamanya bangkrut dan dirinya terkena imbas perampingan karyawan, Silvia belum mendapat pekerjaan baru. Dia mengumpulkan Rupiah dengan menjadi pekerja lepas: berjualan keripik aneka rasa, mengajar Bahasa Inggris, dan menjadi pekerja katering di pesta orang kaya. Dari ketiga pekerjaan itu, profesi pertamalah yang menjadi favorit Silvia.

Lepas tengah malam, mobil-mobil di pekarangan rumah Opa Werner mendesau pergi. Tinggal Vios milik Calvin yang tersisa. Silvia bersiap-siap pulang, tetapi ingat Jose yang masih pulas di bahunya. Mau membangunkan, jelas ia tak tega. Anak itu tidurnya nyenyak sekali.

Kriett

Engsel-engsel pintu utama berderit, suaranya mirip geraman. Siluet pria dengan tinggi di atas seratus tujuh puluh senti, berwajah sangat tampan, dan bermata sipit berjalan mendekat. Ada yang memagut Silvia untuk terus menatapi laki-laki itu.

“Anda ayahnya Jose?” Silvia angkat bicara, ragu.

“Iya. Itu anak saya.”

Lihat selengkapnya