Untuk Hati yang Sekarat

princess bermata biru
Chapter #15

Takkan Terhapus dari Ingatanku

Setelah menitip pesan pada bibi pengurus rumah untuk menjaga ayahnya, Jose bersiap-siap. Dia sedang mengancingkan jas Dolce and Gabbana-nya ketika Ayah Calvin tetiba masuk ke kamar.

“Ayah, Ayah istirahat aja. Biar cepat sembuh,” kata Jose kaget.

“Kamu mau kemana, Sayang?”

“Ke rumah eman, Ayah. Kerjain PR.”

“Gimana kalau bikin PR-nya sama Ayah aja? Kamu nggak usah kemana-mana.”

“Tugasnya berkelompok, Ayah. Nggak bisa dibuat sendiri.” Jose mengarang seadanya. Dia bersalah, benar-benar bersalah telah membohongi ayahnya.

“Benar ya, kamu ke rumah teman? Kamu nggak ke rumah perempuan yang kita temui di rumah sakit, ‘kan?” Ayah Calvin memastikan, nadanya menyelidik.

“Nggak, Ayah. Ayah tenang aja.”

Kebohongan lagi. Mengumpati diri sendiri, Jose memeluk Ayah Calvin sekilas dan bergegas meninggalkan rumah.

Rush milik Jose meluncur menaiki jembatan layang. Kerlap-kerlip lampu kota terlihat jelas dari atas sana. Kendaraan mewah itu adu cepat dengan mobil lainnya. Naik jembatan layang mempercepat perjalanan. Situasinya tak sepadat di bawah. Tak butuh lama, Jose tiba di Setra Duta. Jose memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah dengan dua taman besar di bagian depan serta samping rumah serta dua studio di sayap kiri. Walau dilengkapi dua taman dan dua studio, rumah Ayah Calvin masih lebih megah dari hunian Jeany. Persis di depan mobil Jose, terparkir sebuah CR-V hitam. Inikah mobil Om Revan yang dimaksud ‘pacar’nya?

Tak ambil pusing dengan pertanyaan bodoh di kepalanya, Jose melangkah melintasi taman depan yang begitu indah dan rapi. Rumput manila berkilau tertimpa cahaya lampu. Bel ditekan dua kali. Jeany sendiri yang membukakan pintu. Ia mengenakan rok jeans selutut, kaus oranye cerah, dan rambutnya diikat ekor kuda. Jose menunduk menatap setelan jasnya.

“Nggak kok, kamu nggak salah kostum.” Jeany berkata meyakinkan, lalu menarik tangan Jose.

Ruang tamu digantungi lukisan prangko dan lukisan kuda. Jose menatap terkesima lukisan kuda itu. Figur kuda putih di lukisan cat minyak tersebut nampak begitu nyata, seolah ia hidup. Senyum Jeany melebar memperhatikan reaksi Jose.

“Itu semua lukisan Eyang,” paparnya tanpa ditanya.

“Eyang kamu masih hidup?” celetuk Jose terkejut.

“Enggak. Tapi beliau berbakat melukis. Udah sering pameran. Pernah juga lukis prangko koleksi Mama. Sebelum meninggal, Eyang tinggalin ratusan lukisan buatannya. Tuh, numpuk di studio kami.”

“Wow, ratusan? Eyang kamu produktif, ya.”

Tak terasa, mereka sampai di ruang makan. Perabot di ruangan ini terbuat dari kayu ek berwarna gelap. Lampunya temaram dan ruangan ini berlangit-langit tinggi. Empat orang duduk mengelilingi meja makan. Masih ada dua kursi kosong tersisa. Jose mengenali Nicole yang duduk di kursi rodanya, Prissy yang terlihat santai memakai gaun rumah, dan Gio yang nyengir lebar menyambutnya. Hanya pria awal lima puluhan berambut kelimis dan berwajah mirip orang Turki yang tidak dia kenal.

“Malam semuanya,” sapa Jose canggung.

Senyum tipis bermain di bibir Nicole. Terus terang, ibu tiga anak itu masih agak berat menerima putri bungsunya berpacaran dengan pria berbeda iman. Kisah cinta dengan yang seiman saja bisa ambyar, bagaimana yang berbeda? Nicole teringat rumah tangganya yang amburadul.

“Tangkapan bagus, Babe. Pulang liburan, oleh-olehnya pacar baru.” Gio mengangkat ibu jarinya ke arah Jeany.

Terus terang, Jose agak tersinggung dengan celetukan pemuda slengean itu. Memangnya dia barang? Tak ada tempat untuk Jeany di hati Jose. Dan hubungan cinta bukan perkara main-main.

“Perjalanan kereta membawa cinta ya, Jeany. Kapan dong, dia dikenalin sama Papa?” Prissy membuat penekanan pada kata ‘Papa’ sambil melirik sinis Revan. Pria yang dilirik hanya menundukkan kepala.

“Sudah, sudah. Ayo kita makan.”

Cepat-cepat Nicole mengambil kendali situasi. Jose rasakan atmosfer yang dingin di penjuru ruang makan. Walau ia akui menu makan malamnya lezat: nasi kebon dengan chicken katsu, sup jagung, dan Truffle Gyu Don. Tanda tanya berkejaran. Siapa yang menyiapkan menu makanan ini? Sepertinya, di rumah ini tak ada ART.

“Jeany, kapan kamu kembali ke Jepang? Sayang loh, kuliah dan kerjaanmu.” Nicole menanyai si bungsu saat mereka menyantap menu utama.

“Ntar kalo Mama udah pisah sama Om Revan.”

“Sebaiknya turuti keinginan Mamamu, Jeany.” Revan angkat bicara, nadanya lembut.

Ini kali pertama Jose mendengar Revan bicara. Ia mulai tak habis pikir. Mengapa Gio, Prissy, dan Jeany membenci Revan? Tutur kata, bahasa tubuh, dan raut wajahnya mencerminkan hal sebaliknya: Revan sangat layak dicintai.

“Bukan urusan Om Revan. Kalau Hyatt Hotel dan Seven-Eleven pecat aku, aku bisa cari kerja lain lagi kalo udah balik ke sana,” sanggah Jeany cepat. Kata-katanya seperti peluru yang meluncur dengan sporadis ke telinga penerimanya.

Lihat selengkapnya