T'lah kudengar kabar tentangmu
Kau tak lagi dengannya
Di benakku ingin tau
Mungkinkah kita bersama
Belasan orang mengantre di shelter Bandros. Penduduk lokal maupun pendatang berbaur untuk mendapatkan tiket bus wisata ikonik di Bandung. Di antara belasan orang yang menyemut di shelter Alun-Alun Bandung, tampak sepasang lelaki dan perempuan muda bermata sipit. Si laki-laki yang belum sempat menanggalkan jasnya amat melindungi perempuan bergaun mini agar tidak dijamah tangan jahil.
Kian malam, kian antusias calon penumpang Bandros. Animo masyarakat lumayan juga saat Night Bandros diluncurkan. Dishub Kota Bandung berencana menambah armada bila antusias masyarakat membludak.
“Jose, lepaskan aku. Rasanya aku seperti hewan piaraan yang diatur langkahnya,” bisik Liza, menyikut-nyikut lengan Jose.
“Oh, tidak bisa. Kamu sudah datang ke sini. Takkan kubiarkan kamu pergi.” Jose pura-pura tertawa jahat. Dia tak tahu kalau kupu-kupu tengah mengepakkan sayapnya di perut Liza seketika itu juga.
Giliran mereka tiba. Jose mengangsurkan selembar uang biru ke loket. Si petugas mengerutkan keningnya kebingungan.
“Cuma empat puluh ribu buat dua tiket, Koh. Ada uang kecil?” tanya si petugas.
“Nggak ada. Kembaliannya ambil aja,” jawab Jose singkat.
Tak terbayang senangnya hati si penjaga loket tiket Bandros. Rezeki dimalam Sabtu. Jarang-jarang ada calon penumpang berbaik hati memberi uang kembalian. Liza mengacungkan kedua jempolnya, memuji perbuatan Jose.
Mereka keluar dari antrean dengan dua tiket di tangan. Liza mulai asyik memotret dengan kameranya. Tangan Jose terbenam di dalam saku, memastikan ponsel dan kunci mobilnya tersimpan aman. Mobil Jose terparkir di Masjid Agung Bandung selama dirinya dan Liza menjelajah Bandung di malam hari.
“Jose?” Liza mencolek lengan sahabatnya.
“Hmmm?”
“Mau siomay.”
Jose berdecak. Ada-ada saja Liza. Dia minta siomay saat bus akan berangkat. Namun, Liza terus memaksa. Akhirnya Jose lari sprint ke pedagang siomay di dekat jajaran bus wisata dan kembali lagi membawa makanan yang diinginkan Liza.
Mereka menikmati siomay di dalam bus terbuka yang interiornya mirip kereta kelinci. Pemandu wisata tak henti berkoar menjelaskan tempat-tempat yang mereka lewati. Liza memotreti rute yang mereka lewati: Jalan Diponegoro, Museum Geologi, Rumah Kentang, Taman Maluku, dan Jalan Belitung. Jose gemas menatapi wajah Liza. Benarkah gadis cantik ini sudah sendiri lagi? Masihkah ada kemungkinan untuk mereka bersama? Dibiarkannya angannya mengembara. Teringat beberapa hari setelah kabar buruk tentang pertunangan Liza.
Jangan lama-lama bersedih
Ada aku disini
Yang menjagamu
Mencintamu
Sudikah buka hatimu
Di pagi berhujan itu, Ayah Calvin masuk ke kamar mereka. Rambut Ayah Calvin sama basahnya dengan halaman rumah yang tergenang hujan sebab dirinya belum sempat mengeringkan rambut sehabis mandi. Pria berhati malaikat itu terlalu sibuk memikirkan Jose.
“Anak Ayah kenapa sedih? Kamu nggak abisin sarapanmu, Sayang. Ada apa? hHm?” Ayah Calvin bertanya, memegang tangan anak lelakinya.
Jose terduduk lesu di pinggir kasurnya. Ia ingin berteriak, menangis, dan menjelaskan pada ayahnya tentang Liza. Rasa kehilangan berdenyut-denyut di udara.
“Ayah, Liza sudah diambil orang ....” lirih Jose.
Ia yakin ayahnya takkan paham. Betapa heran Jose karena Ayah Calvin memeluknya. Ia cium kening Jose sambil bernyanyi lembut di telinganya.
“Jangan lama-lama bersedih ... ada aku di sini ... yang menjagamu, mencintamu.”
Tuhan, buatlah dia
Lupakan kekasihnya yang lama
Karna ku lebih baik darinya
Hanya ku pantas untuknya
Tolong aku Tuhan