“Permisi. Saya ingin bertemu Calvin Wan.”
Seorang pria Tionghoa berumur kira-kira delapan puluhan menghentikan Silvia dari kegiatannya mengetik surat. Ia menengadah dari layar komputer. Senyum ramah terpulas di bibir.
“Oh, sudah buat janji, Pak?” tanyanya halus.
“Belum. Saya papanya.”
Silvia mengangguk paham. Sejenak ia bimbang. Ia teringat pesan Calvin tadi pagi. Katanya, pria itu ingin fokus menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin hingga waktu makan siang. Ada hal lain yang harus dilakukan Calvin selepas pukul dua belas.
“Kenapa? Saya bisa, ‘kan ketemu anak saya?” kejar Opa Werner menangkap keraguan di wajah sekretaris anaknya.
“Hmmm, gimana ya, Pak? Tadi pagi Pak Calvin berpesan sama saya kalau beliau tak ingin diganggu dulu sampai jam makan siang. Tunggu sebentar.”
Sesabar mungkin, Silvia memberi pengertian. Opa Werner mengerti dan tidak sengotot tamu lain. Silvia meraih pesawat telepon dan menekan extension ruangan presdir. Terdengar nada tunggu cukup panjang. Telepon tak dijawab. Bangkit dengan anggun, Silvia berjalan ke ruangan atasannya. Pintu ruang kerja presdir sedikit terbuka. Lewat celah pintu, manik mata Silvia memperhatikan Calvin sedang salat. Ia berbalik kembali menghadap Opa Werner.
“Maaf, Pak Calvin sedang salat. Apa Bapak mau menunggu?”
Opa Werner mengukir senyum di wajahnya yang penuh kerutan. Anak itu makin rajin ibadah saja sejak memutuskan berpindah keyakinan, batinnya bangga. Opa Werner dan Oma Audy tidak pernah menentang keputusan Calvin sewaktu ia memutuskan mengganti agamanya dari Buddha ke Islam.
“Saya tunggu saja di dalam. Terima kasih, ya.” Opa Werner berjalan masuk ke ruang kerja presdir.
Silvia memegangi dadanya yang berdebar tak menentu. Bayangan wajah teduh Calvin yang sedang menjalankan salat terus melintas. Salut, salut sekali ia pada Calvin.
Opa Werner masuk ketika Calvin menuntaskan ibadahnya. Ia tersenyum pada sang papa. Diajaknya Opa Werner duduk di sofa.
“Kamu punya sekretaris baru, Vin?” selidik Opa Werner.
“Iya, Pa. Sekretaris lamaku mengundurkan diri.”
“Dia cantik sekali. Tutur katanya lembut. Apa kamu suka padanya?”
Calvin sedikit bingung dengan pertanyaan itu. Maka dia hanya menjawab.
“Ya, aku suka. Kinerja kerjanya sangat baik. Dia pintar dan bisa bekerja cepat.”
“Bukan, bukan itu maksud Papa. Kamu menyukainya lebih dari sekedar sekretaris?”
Rona kemerahan menyemburat di wajah putihnya. Calvin berusaha memeriksa perasaannya sendiri. Mengingat momen-momen yang ia lewati bersama Silvia. Hampir setiap hari mereka bertemu. Tak jarang mereka menambah intensitas pertemuan di akhir pekan dan di luar urusan kerja. Jose membuat kedekatan mereka makin terjalin erat.
“Nah, melamun. Vin, kamu benar, ‘kan suka sama dia?” Opa Werner memukul pelan bahunya.
Terkaan sang papa hanya dijawab gumaman. Tak pernah Calvin mendiskusikan urusan hati pada orang tuanya. Ia malah mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan tentang Oma Audy.
“Mamamu baik-baik saja, Vin. Ayo jawab pertanyaan Papa. Nggak apa-apa kok, kalau kamu sudah temukan pengganti Alea. Jose juga perlu ibu baru.”