Untuk Hati yang Sekarat

princess bermata biru
Chapter #21

Belahan Jiwa Ayah

Pukul tiga pagi, Ayah Calvin terbangun. Sebelas jam lamanya ia terlelap. Ia merasa lebih segar. Batuknya pun sudah jauh berkurang.

Hanya kesunyian yang datang menyapa. Selama sepersekian menit, Ayah Calvin hanya terlentang di ranjang besarnya. Terus menatap layar televisi yang menayangkan sebuah film action. Matanya terpagut ke layar televisi, tetapi jiwanya tak tersangkut di situ. Terlarut Ayah Calvin mengenang mimpinya.

Semalam ia memimpikan Silvia. Wanita cantik berambut mahoni itu tampak begitu nyata. Ia seolah benar-benar berniat mengunjungi Ayah Calvin dalam mimpi. Andai saja Silvia sungguhan ingin menemuinya di kehidupan nyata. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untuknya.

Alih-alih Silvia, yang datang menyambanginya justru Bunda Alea. Segala rasa yang dimiliki Ayah Calvin untuk mantan istrinya itu telah terkikis. Terlebih, sejak apa yang sudah dilakukan Bunda Alea pada dirinya dan Jose.

Ayah Calvin tak bisa lagi menerima Bunda Alea. Betul bahwa dia melarang Jose bersikap buruk pada bundanya tempo hari. Namun, itu semua dia lakukan semata karena masih menghargai mantan Gadis Sampul itu sebagai ibu kandung putranya. Ayah Calvin tidak menyimpan sisa cinta untuk perempuan yang sempat melahirkan anaknya.

Entah mengapa, malam ini berbagai ingatan menyerbu memorinya. Ingatan Ayah Calvin seakan sedang di-restart. Tiap peristiwa terekam dengan jelas. Lembaran hari yang dilewatinya bersama Jose. Orang-orang yang datang dan pergi dalam hidup mereka.

Seberkas rindu menyusup ke relung hati. Ayah Calvin mengayunkan kakinya ke bawah ranjang. Selangkah demi selangkah ia meninggalkan kamar utama. Langkah kakinya bergaung di lantai marmer. Desah napasnya diperkeras dua kali lipat saking sunyinya rumah besar ini. Lampu ruang tengah dan ruang makan telah diredupkan. Penerangan hanya bersumber dari lampu-lampu bercahaya lembut yang menggantung di sepanjang lorong. Pria tampan itu lalu teringat kalau Jose tidur di lantai atas. Ah, persetan dengan kaki yang cacat. Dia ingin melihat wajah putra tunggalnya.

Naik tangga adalah momok menakutkan. Kedua kaki Ayah Calvin gemetar, hampir tak kuat menopang tubuh rapuh pemiliknya. Ayah Calvin berjuang sekuat tenaga untuk menaiki tangga pualam. Berkali-kali tangan putihnya tergelincir dari pegangan. Penuh tekad, Ayah Calvin menapaki anak tangga sampai akhirnya dia tiba di puncaknya.

Pintu ruang atas tidak terkunci. Dalam satu gerakan pelan, Ayah Calvin mendorong pintu kaca hingga terbuka. Disusurinya lorong panjang berkarpet merah darah. Sama seperti ruangan-ruangan lainnya di rumah ini, lorong panjang di lantai atas juga terasa sejuk oleh pendingin udara. Ruangan yang bebas AC hanyalah dapur dan garasi. Langkah kakinya membawanya ke pintu paling ujung. Ragu-ragu diputarnya kenop pintu.

**   

03.34. Jose menggeliat, mematikan ponselnya yang terus memekikkan alarm. Dia merayap turun dari tempat tidur. Berjalan sedikit sempoyongan dan mata meredup menuju toilet kamarnya.

Air bergemericik dari shower. Ia basuh wajahnya dan anggota tubuh yang lain. Selesai berwudu, Jose menegakkan salat malam. Nyaman sekali bermesraan dengan Tuhan di kamar yang sejuk dan berkarpet tebal.

Walau nyaman, pikiran Jose tak tenang. Angannya mengembara pada pertemuannya dengan Liza Jumat lalu. Liza memberi tahunya tentang algojo bayaran dan saingan bisnis ayahnya yang masih berusaha memburu Jose. Dengan serius, Liza memperingatkan Jose untuk memperketat penjagaan di rumah dan tidak meninggalkan Ayah Calvin. Akhir pekan kemarin, Liza membatalkan rencana hunting foto bersama Jose dan lebih memilih tetap di rumah bersama pria itu untuk menemani Ayah Calvin.

Kedatangan Liza ke Bandung membawa percik kesedihan sekaligus kegembiraan di saat yang sama. Gembira karena gadis itu akhirnya tak termiliki. Jose merasa dicintai saat Liza bertekad pindah ke Bandung demi dirinya. Sedih karena Liza membawa kabar buruk.

Kariernya di jaringan bisnis milik Ayah Calvin masih seumur jagung. Jose tak tahu pasti siapa musuh-musuh ayahnya. Setahunya, Ayah Calvin tak pernah mencari penyakit dengan siapa pun. Ayah Calvin terlalu lembut dan baik hati untuk melakukan itu. Apa salah Ayah Calvin hingga ada rival bisnis yang begitu terobsesi mengganggu kehidupan dia dan keluarganya?

Sayup terdengar kenop pintu diputar. Jose melihat sekilas sosok jangkung bergerak ke arahnya. Tidak, sosok itu tidak jadi mendekat. Dia bergerak pelan ke kamar mandi.

“Ayah?” Jose mendesis pelan, tak sempat bertanya.

Tak lama, Ayah Calvin berdiri tegak di samping Jose. Ia menghadap kiblat. Jose menahan napas memandangi ayahnya melakukan gerakan salat. Ayahnya bisa salat lagi?

Sewaktu mereka masih di Semarang, Jose patah hati karena Ayah Calvin kembali sembahyang sebagai seorang Buddhist. Jose merasa ayahnya membangun tembok pemisah dengan dirinya. Kini, Ayah Calvin kembali ingat cara ibadahnya yang baru. Tembok tebal nan kokoh itu runtuh.

“Terima kasih, ya Allah. Allah kembalikan lagi ayahku,” bisik Jose terharu.

**   

Tak pernah 'ku tahu hari esokku

Karena surya 'kan lenyap

Kadang langit tampak suram

Tapi terang Tuhan ada bagiku

Dipimpin-Nya hidupku

Sampai di akhir langkahku

Tuhan

Lihat selengkapnya