Untuk Hati yang Sekarat

princess bermata biru
Chapter #22

Yang Kutahu, Aku Takut Kehilanganmu

“Panggil aku Calvin.”

“Iya, Pak Calvin.”

“Loh, kok Pak lagi?”

Wajah Silvia memerah. Ia menunduk malu, menatap rumput hijau di bawah kakinya. Belum terbiasa lidahnya menyebut nama sang atasan tanpa embel-embel ‘Pak’.

“Iya, Calvin,” ujar Silvia lembut.

Senyum merekah di wajah tampan Calvin. Ia mengacak gemas rambut Silvia. Kontan si pemilik mahkota mahoni memajukan bibir. Calvin tertawa, makin gemas melihat ekspresi lucu gadisnya.

Pagi hari tanggal empat belas Desember segar menyejukkan. Langit biru sewarna bunga forget-me-nott. Bola besar kekuningan menyala di langit sebelah timur. Calvin dan Silvia tengah menunggu Jose turun dari kamarnya. Mereka berencana berangkat bersama: Jose berangkat sekolah, Calvin dan Silvia ke kantor. Rutinitas berubah sejak Calvin dan Silvia memutuskan bersama. Tak ada lagi berangkat sendirian. Tiap hari Silvia merasakan empuknya jok mobil Calvin dan nyamannya rumah berpendingin udara. Banyak waktu ia habiskan bersama Calvin dan Jose.

“Aku datang! Ayah, Bunda Silvia, ayo kita berangkat!” seru Jose, melompat-lompat riang ke halaman depan.

Calvin menurunkan tangannya dari kepangan rambut Silvia. Ia meraih tangan gadis itu dan menggandengnya ke mobil.

Hari ini hari terakhir class meeting di sekolah Jose. Makanya ia tak membawa buku pelajaran. Tas sekolahnya penuh buku cerita dan bola basket. Jose akan bermain basket dalam pertandingan olahraga antar kelas. Di mobil, tak hentinya ia menyuguhi Calvin dan Silvia dengan rencana strateginya untuk mengalahkan tim lawan dalam pertandingan basket nanti.

“Jangan capek-capek ya, Sayang. Ingat, nanti sore pesta ulang tahunmu.” Calvin pelan mengingatkan.

“Siap, Bos! Wah, nggak kerasa, ya, Jose udah sembilan tahun!”

Calvin dan Silvia tertawa kecil. Cara bicara Jose seperti orang yang sudah tua saja. Seakan hari ini umurnya menginjak puluhan tahun.

“Ayah.” Jose menjawil pundak ayahnya yang sedang menyetir.

“Ya, Sayang?”

“Jose, ‘kan udah sembilan tahun. Boleh dong, minum kopi?”

Terang saja Calvin melotot. Mata Silvia membulat sempurna.

“Belum boleh. Jose minum susu aja,” tegas Calvin.

“Aaaah, Ayah nggak asyik. Jose penasaran kopi rasanya kayak gimana!” paksa Jose.

“Kopi rasanya pahit, Sayang. Anak seumuran Jose bagusnya minum susu biar selalu sehat,” timpal Silvia. Calvin senang karena mendapat dukungan dari calon istrinya. Sisa perjalanan pun berlalu dengan diskusi tentang susu dan kopi. Begitu sampai di sekolah dan bertemu teman-teman sekelasnya, Jose sudah lupa dengan permintaannya sesaat tadi.

Calvin tak langsung mengarahkan mobilnya ke Jalan Padjadjaran setelah mengantar Jose. Kening Silvia berkerut heran. Ia melirik jam tangannya dan bertanya,

“Kenapa nggak langsung ke kantor, Vin?”

“Aku ada urusan dulu. Kamu juga harus ikut.”

Silvia manggut-manggut walau masih tak mengerti. Mobil meluncur naik ke flyover Taman Sari. DJ Arie School, Masjid Salman, kampus ITB, Warung Pasta, dan bangunan-bangunan penting lainnya serasa hanya kotak-kotak kecil saja jauh di bawah sana. Mobil terus melaju hingga tiba di sebuah rukan. Rumah merangkap kantor itu tampak lengang.

“Vin, ini, ‘kan kantor EO yang ngurusin ultahnya Jose. Ngapain kita ke sini? Urusan ultah udah dihandel sama Pak Werner dan Bu Audy,” cecar Silvia.

“Nanyanya satu-satu, Sayang. Selain urus acara ulang tahun, mereka juga punya jasa WO.”

WO? Silvia menahan napas. Apa itu artinya ....

Kekagetan Silvia terbaca oleh Calvin. Ia membentangkan tangannya, merangkum wajah gadis itu. Menatap safir biru Silvia penuh kelembutan.

“Maaf kalau aku kesannya buru-buru, Via. Aku nggak sempat lamar kamu dengan cara romantis. Tapi, semua itu akan kutebus kalau kita sudah menikah. Yang penting aku menghalalkan kamu dulu. Nggak apa-apa, kan?” jelas Calvin, berusaha membuat Silvia mengerti.

Sekretaris cantik itu hanya mengangguk pasrah. Ia menurut saja saat Calvin menggandeng tangannya memasuki rukan itu.

Suasana di dalam rukan tak sesepi di halamannya. Terlihat para pekerja EO sudah datang dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang menjawab telepon masuk, membalas e-mail, menghitung budget pernikahan klien, membuat infois, dan mengembalikan gaun-gaun pengantin yang baru saja diantarkan oleh klien. Sepasang lelaki dan perempuan muda berpenampilan nyentrik hilir-mudik di lobi sambil nyerocos membicarakan dekorasi.

Dengan resah, Silvia memperhatikan Calvin begitu antusias mempersiapkan pernikahannya. Ia berunding dengan orang-orang di sana, memilih konsep, dan menunjukkan banyak foto pada Silvia. Sampai saat ini, Silvia masih takut menikah. Ketakutannya hanya ia simpan dalam hati.

Setelah satu setengah jam yang meresahkan, kini Calvin dan Silvia tiba di kantor. Pikiran Silvia kusut. Ia bekerja dengan tak fokus. Bayang menakutkan tentang pernikahan berkelindan di otaknya. Akibat kurang konsentrasi, surat masuk salah diarsipkan jadi surat keluar.

“Astaghfirullah ... salah lagi. Maafkan aku.” Silvia bergumam sendiri ketika suratnya salah ketik untuk kali ketiga.

Menjelang jam makan siang, Calvin memanggil Silvia ke ruangannya. Ia masuk ke ruangan presdir sambil membawa setumpuk dokumen.

“Letakkan di situ, Sayang. Kita bisa mengurusnya nanti,” suruh Calvin halus.

Silvia meletakkan map merah berisi dokumen dengan patuh. Ia duduk di samping calon suaminya. Gelisah ia memilin-milin jemari tangan.

Lihat selengkapnya