Cat biru gelap disemprotkan ke langit. Sedikit demi sedikit, bulan mulai mengecil. Hawa dingin menjilati kulit orang-orang yang berangkat ke Masjid An-nafi, Dago Pakar. Muazin melantunkan syair-syair Tuhan dengan lantang walau hari belum lagi berdenyut.
Kawasan Dago Pakar belum terbangun pada pukul lima pagi. Namun, aktivitas di rumah besar itu telah dimulai. Ayah Calvin sekali lagi bertaruh dengan diri sendiri untuk menuruni tangga. Kakinya lemas dan gemetr hebat di anak tangga ketiga. Ia diam-diam turun ke lantai bawah tanpa sepengetahuan Jose. Biarlah kali ini ia mengandalkan diri sendiri.
Satu, dua, tiga, akhirnya kedua kakinya mendarat mulus di anak tangga terbawah. Ayah Calvin sedikit tersengal. Senang dengan dirinya yang bisa turun tangga sendiri meski kesulitan. Suka merepotkan orang lain bukanlah gaya hidupnya. Orang yang menatapnya dari luar saja takkan menyangka Ayah Calvin telah berumur enam puluh satu tahun. Rambut sehitam papan tulis, sorot mata teduh, dan wajah mulus tanpa keriput membuat tanda ketuaan absen dari penampilannya. Lihatlah tanda kemunduran usia dari gerakan dan kesehatannya.
Tertatih ia menuju dapur. Seberkas rencana tersimpan di kepalanya. Sudah lama juga ia tak menengok isi kulkas. Pintu dapur didorongnya pelan. Dapur super bersih itu tampak berkilap dilatarbelakangi cahaya lampu dan seleret cahaya bulan yang menyembul dari bingkai jendela. Meja masak besar berwarna biru berkilau pertanda semalaman ia tak disentuh. Mixer, oven, blender, juicer, microwave, kitchen set, dan perabotan lainnya membisu. Lemari es empat pintu mendengung pelan. Sendok yang menggunung, piring-piring bersih, mangkuk perak, dan dan setumpuk pisau menuntut untuk dipakai. Suasananya mendukung sekali untuk memasak. Tak perlulah Ayah Calvin membersihkan alat dapur sebelum memulai. Jose akan senang.
Pintu kulkas dibukanya satu per satu. Ayah Calvin lupa letak bahan-bahan makanan. Diperiksanya pintu pertama. Kotak-kotak besar berisi daging ayam dan sapi menggunung. Mereka berciuman dengan boks lainnya yang berisi sayuran segar. Kembali ia tutup pintu itu. Tangannya bergerak naik membuka pintu kedua. Isinya yoghurt, beberapa kaleng besar susu, buah-buahan, keju, granola, dan keripik. Pintu ketiga dimuati kue-kue, puding, jus, dan aneka jenis minuman. Sedangkan, pintu terakhir penuh oleh es krim, nugget beku, pancake beku, dan makanan beku lainnya. Ayah Calvin tersenyum puas. Stok bahan makanan tersedia lengkap.
Mulailah ia beraksi. Ayah Calvin memotong sayuran, mengupas bawang hingga matanya memerah, dan menyiangi daging. Ia beranjak ke sudut dapur dan mengangkat tutup rice cooker. Segunung nasi putih yang masih bagus ia keluarkan. Semangatnya bangkit. Memasak mengembalikan kehangatan di dada Ayah Calvin yang telah lama hilang.
**
Wangi nasi goreng menyambut Jose setiba di lorong dekat dapur. Aneh, pikirnya. Bukankah bibi pengurus rumah belum datang? Siapa yang memasak? Didorong rasa ingin tahu yang terus menggugah, Jose mempercepat langkah.
“Ya ampun, Ayah ....”
Jose kehabisan kata. Ayah Calvin berdiri di depan kompor, membolak-balik sesuatu entah apa di dalam wajan dengan terampil. Setengah berlari Jose menghampiri ayahnya.
“Ayah, ‘kan lagi sakit. Kenapa mesti masak? Sini, aku bantu.” Jose mencoba merebut spatula dari tangan sang ayah, tetapi Ayah Calvin menahannya.
“Setahu Ayah, kamu nggak bisa masak. Kemarin-kemarin kamu sibuk keliling Eropa dan Amerika,” timpal Ayah Calvin kalem.
Tak ada maksud sarkastik. Namun, tetap saja hati Jose tertohok. Keasyikan jalan-jalan membuat Jose tak sempat belajar keterampilan rumah tangga. Ia terlalu gembira karena menjadi lulusan tercepat, memimpin perusahaan, dan bisa memuaskan hasrat traveling-nya. Sesal memerciki hati. Kenapa tak terpikir untuk belajar mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti ayahnya? Terlepas dari kemampuan membayar asisten rumah tangga, Ayah Calvin terampil sekali membereskan urusan rumah.
“Udah, udah, jangan dipikirin. Maafin Ayah, ya. Kamu tunggu di ruang makan,” suruh Ayah Calvin halus.
Lulusan terbaik di kampusnya itu menyingkir di ruang makan. Jose mencatat dalam benaknya untuk ikut kelas memasak dengan chef profesional jika ada waktu luang. Mungkin ia juga perlu bantuan Liza. Teringat Liza, hati Jose berbunga. Ia dan gadis kamera itu masih sempat saling sapa beberapa menit lalu.
Tak lama, Ayah Calvin membawa masakannya ke ruang makan. Mereka duduk bersebelahan di dua kursi bundar di tengah meja. Tangan Jose sigap mengambilkan makanan ke piring sang ayah. Saat sendok mereka terangkat, bunyi bel pintu memecah segalanya.
Siapa yang bertamu sepagi ini? Loper koran saja kalah cepat. Jose tergesa-gesa ke ruang depan.
“Taraaaa!” seru Liza nyaring di mulut pintu.
“Liza? Kamu lebih cepat dari loper koran,” desah Jose takjub.
Gadis berkardigan putih itu menggembungkan pipi. “Enak aja aku disamain kayak loper koran.Nih, aku bawain sarapan buat kamu sama Ayah Calvin.”
Disorongkannya kantong kertas berisi dua kotak kwetiaw goreng. Jose heran karena Liza hanya membawa dua.
“Buat kamu mana?”
“Gampanglah, sarapan nanti aja juga nggak apa-apa. Kamu dan ayahmu lebih penting,” balas Liza diplomatis. Sukses membuat kepak sayap kupu-kupu kebahagiaan di dada Jose bertambah cepat.
Ini hari terbaiknya. Jose menikmati sarapan dikelilingi dua permata hatinya yang sangat berharga: Ayah Calvin di samping kanan, Liza di sebelah kiri. Nasi goreng rupanya boleh juga disandingkan dengan kwetiaw.
“Kita kayak keluarga standar KB, ya. Dua anak cukup,” canda Liza menatap Jose dan Ayah Calvin.
“Sayang nggak ada Bun ....”
“Liza, jangan sebut-sebut kata ‘Bunda’ di rumah ini.” Jose memotong cepat. Dia masih muak dengan kunjungan Bunda Alea.
“Oke, maaf. Dengan Ayah saja cukup.”
Ayah Calvin menatap muram wajah putranya yang sedikit mengeras. Walau tak ada niatan ke arah sana, Ayah Calvin membayangkan reaksi Jose jika ia mengutarakan niatnya untuk menikah lagi. Mungkin Jose akan bereaksi seperti gadis-gadis manja di novel picisan: menolak dan memberontak saat ayah tunggal mereka ingin menikah. Sebenarnya, masih terbuka peluang bagi Ayah Calvin untuk mencari pendamping hidup. Ia masih cukup tampan, bahkan terlalu tampan untuk pria usia enam puluhan. Soal kebebasan finansial, jangan ditanya. Ayah Calvin tak punya hutang dan tak bergantung pada penghasilan anak untuk menjalani sisa hidup.