Tak setiap hari Nicole datang ke kantor. Satu hari ia bekerja di kantor, hari berikutnya ia bekerja dari rumah. Nicole tak terlalu banyak lagi mengurusi proyek arsitektur sejak ia sakit. Kini, dedikasinya lebih banyak ditujukan untuk menulis buku, memotivasi orang lain, dan menggarap event untuk orang berkebutuhan khusus.
Hari ini, gilirannya bekerja dari rumah. Nicole rehat sejenak dari pekerjaannya dan makan siang bersama Revan di gazebo rumah. Revan sadar dirinya tak diinginkan. Maka dia tak menampakkan diri di depan ketiga anak Nicole.
Nicole begitu menikmati soto mie yang dibawakan sahabat merangkap cinta terlarangnya. Mereka menyantap makan siang ditemani langit kelabu. Sesekali angin dingin membisiki mereka, menyuruh mereka masuk ke dalam. Namun, keduanya belum berminat untuk beranjak dari situ.
“Ada kabar gembira,” kata Revan memecah kesunyian.
“Apa, Revan? Perusahaan mediamu makin maju, ya? Atau kamu dapat wartawan junior yang penuh semangat?”
“Ini bukan tentangku, tapi tentang bukumu.”
Dari dalam tas hitamnya, Revan mengeluarkan sebuah buku. Nicole mengenali itu adalah buku kedua yang dia tulis dari covernya. Buku itu ditulis untuk mengenang mendiang papanya. Masih segar dalam ingatan Nicole, buku itu diluncurkan pada hari keempat puluh kepergian sang papa.
“Revan, itu buku keduaku ....”
“Iya. Buku keduamu ini akan cetak ulang lagi. Penjualannya masih bagus walau sudah tujuh tahun berlalu. Bukumu diletakkan di rak khusus dan meja depan di jaringan toko buku.”
Sendok diletakkan buru-buru ke mangkuk. Nicole menutup wajahnya. Ia senang sekali mendengar kabar itu. Entah sudah berapa kali buku keduanya cetak ulang.
“Puji Tuhan,” gumamnya di sela-sela jarinya.
Revan melempar senyum menawan. Kebahagiaan Nicole adalah kebahagiaannya pula. Wanita setengah baya itu menatap Revan. Ada cinta di matanya.
“Aku tak tahu lagi bagaimana harus berterima kasih padamu, Revan. Kamu cahaya hidupku. Kamu sama berharganya seperti ketiga anakku.” Nicole mengungkapkan perasaannya setulus hati.
Terbawa suasana, Revan membawa tubuh Nicole ke dalam peluk hangatnya. Diciumnya kening dan mata single mother itu. Revan mencintainya, amat mencintainya. Hanya Nicole wanita yang ia cinta. Revan kagum akan perjuangannya, kerja kerasnya membesarkan tiga anak sebagai orang tua berkebutuhan khusus, dan keterbukaannya untuk berdamai dengan diri sendiri.
“Nicole, aku mencintaimu.”
Nicole mengalungkn lengannya di leher Revan. Pelukan mereka semakin erat. Seolah dunia milik berdua. Sepasang suara marah dari dalam rumah membuat kebersamaan mereka meledak buyar.
“Bodoh sekali kamu, Jeany! Kenapa kamu buru-buru putusin Jose? Harusnya, ‘kan kamu bisa lebih lama sama dia biar Mama tersindir!”
Raungan suara Gio terdengar keras sekali hingga ke halaman. Revan dan Nicole bertukar pandang sejenak. Apakah putra-putri Nicole bertengkar?
“Percuma, Gio. Jose juga tidak pernah mencintaiku. Dia hanya membantuku pura-pura pacaran untuk memanas-manasi Mama,” kata Jeany putus asa.
Mendengar pengakuan Jeany, Nicole terkesiap. Ia amat terpukul. Anak-anaknya berani membohonginya. Mereka memanfaatkan Jose untuk menyindir Nicole. Baru pertama kali ketiga anaknya berkonspirasi untuk menipu mereka.
Revan mempererat pelukannya. Nicole kecewa, amat kecewa dengan ketiga anaknya. Ia tak pernah mengajari mereka berdusta.
“Aku sudah memutuskan,” lanjut Jeany.
“Aku akan mendukung Mama dan Om Revan.”
Kemarahan Gio dan Prissy lebih dahsyat lagi. Kekecewaan mereka membesar lantaran Jeany berbalik membelot mereka. Mendadak Jeany tak kompak lagi dengan kedua kakaknya. Hangat tangannya membelai punggung Nicole. Angin dingin berkesiur tajam di belakang mereka. Sekejap kemudian, Revan menuntun Nicole masuk ke rumah.
“Jadi, anak Mama sekarang berani berbohong?” tanya Nicole penuh luapan emosi setiba di dalam rumah.
Kuas dan pallet di tangan Gio terlempar. Prissy terbeliak seolah melihat Banshee. Jeany tertunduk dalam.
“Tenangkan dirimu, Nicole. Ingat hipertensi-mu,” bisik Revan menenangkan, khawatir Nicole tak dapat mengontrol diri.
“Aku kecewa pada anak-anakku, Revan. Tega sekali mereka membohongiku. Aku tak pernah menyembunyikan apa pun dari mereka.” Nicole terisak. Dadanya naik-turun menahan sedih dan marah.
“M-maafkan kami, Ma. Ini semua salah kami. Maaf.”