Jakarta, Januari 1998
Mimpi itu runtuh berserakan. Harapan yang telah dipupuk sedemikian lama pupus. Cita-cita yang pernah diangankan karam layaknya butir-butir pasir yang tergerus derasnya ombak lautan. Dunia bagi pemuda itu seketika terasa hampa. Wajahnya layu. Tak nampak rona keindahan hadir di sana. Yang ada hanyalah suram bercampur kecewa.
Wisnu melangkah lemas. Tungkai-tungkainya bergerak lambat. Kepalanya tertunduk lesu. Ingin ia tumpahkan seluruh butiran air bening yang telah menggenang di pelupuk mata. Namun, ia malu. Ia bukan lagi bocah yang bebas menangis manakala kehendaknya tak terpenuhi. Seragam putih abu-abu yang membalut tubuhnya itu adalah pertanda bahwa ia telah lama berpamitan dengan masa kanak-kanak.
Beberapa jam lalu, Wisnu menyantap makan siangnya di kantin sekolah sembari mendengar siaran radio Hujan FM. Kegiatan itu memang kerap ia lakukan ketika jam istirahat. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini dibanding hari-hari biasa. Wisnu menunggu datangnya pengumuman seleksi Idola Jakarta yang digelar Hujan FM.
Kontes menyanyi itulah alasan Wisnu murung. Ia gagal. Padahal, Wisnu telah mengerahkan segala kemampuan dan usaha. Di setiap harinya dalam tiga bulan terakhir, Wisnu tak pernah absen berlatih gitar sembari bernyanyi untuk menghasilkan penampilan yang apik. Permainan gitarnya bersih dan suaranya terdengar merdu. Wisnu percaya diri dengan kualitas perpaduan suara dan nada gitar yang ia mainkan. Kendatipun demikian, langkah Wisnu terhenti. Bahkan, ketika kompetisi masih di tahap audisi.
Sekian lama berjalan, langkah Wisnu terhenti di depan tempat tinggalnya yang sederhana itu. Sebuah rumah berdinding warna biru dengan sebagian besar catnya telah mengelupas. Di rumah itu, Wisnu tinggal bersama ibunya.
Wisnu melangkah masuk dan langsung menuju kamar ibunya. Hanya di pangkuan perempuan itulah ia ingin menumpahkan segala keluh kesahnya. Namun, perempuan yang ia cari tak berada di dalam kamarnya. Perasaan Wisnu mengatakan ibunya tengah berada di luar rumah. Tapi, melihat jendela yang terbuka dan pintu depan yang tak terkunci menggagalkan kemungkinan itu.
Wisnu lantas melangkah ke dapur, sebuah ruang kecil di bagian belakang rumahnya. Sesampainya di sana, Wisnu disambut serpihan-serpihan pecahan piring kaca dan gelas yang jatuh berserakan. Kedua bola matanya terbelalak mendapati darah yang menggenang di lantai. Cairan merah berbau anyir itu berasal dari sesosok tubuh perempuan yang tengah tergeletak tak berdaya. Seketika Wisnu berteriak kencang,
“Ibu!”
***
Tubuh Suyanti terbaring lemah di ruang perawatan Rumah Sakit Klender. Kaki, tangan, dan kepalanya dibalut perban. Dadanya bergerak naik turun, pertanda bahwa nyawa masih mengendap dalam raga tua itu.
Wisnu memandangi wajah ibunya itu penuh iba. 14 jam telah berlalu sejak ia membawa Suyanti ke rumah sakit. Hatinya masih terasa pilu. Sementara jiwanya sempat terguncang menyaksikan sang ibu berada di ambang batas hidup dan mati.
Memorinya seketika menyemburkan kenangan akan kejadian 11 tahun silam. Ketika itu, keluarganya bertamasya ke TMII. Dengan menaiki angkutan umum, keempat angota keluarganya yang terdiri dari ayah, ibu, kakak perempuan, dan dirinya sampai di taman miniatur Indonesia itu. Keakraban dan kebahagiaan menghiasi detik demi detik yang mereka habiskan bersama. Sejauh ingatan Wisnu, itu adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Di hari itu, Wisnu dapat melihat ayah, ibu, dan kakak perempuannya tertawa dengan begitu bebasnya.
Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Dalam perjalanan pulang, kendaraan yang mereka tumpangi bertabrakan dengan truk dari arah berlawanan hingga terguling di jalan raya. Nahas, separuh dari penumpang angkutan meninggal. Termasuk ayah dan kakak perempuan Wisnu. Ia dan ibunya berhasil selamat. Tapi, itu tak mengubah keadaan bahwa hidup mereka telah tergelincir ke titik terendah.
Wisnu yang saat itu masih berusia 6 tahun harus menyaksikan ibunya menangis berhari-hari sejak suami dan anak perempuannya dimakamkan. Sejak saat itu juga, Wisnu selalu melihat ibunya dalam keadaan murung. Segala sumber kebahagiaannya seolah telah direnggut tanpa sisa. Bahkan, setelah 11 tahun berlalu, Suyanti tak pernah sekalipun sudi mengumbar senyum. Ia seakan telah lupa bagaimana caranya untuk bahagia.
“Kamu masih di sini, Wisnu?” Sebuah suara tiba-tiba menyapa. Wisnu menoleh. Tampak oleh kedua bola matanya seorang laki-laki berbadan tegap di usia awal 30-an tengah tersenyum tipis padanya. Laki-laki itu mengenakan celana panjang dan jas berwarna putih. Di bagian dada kanan jas putihnya terbordir sebuah nama bertuliskan “dr. Dicky Prasetyo”.
Wisnu mengenal dokter itu. Ia adalah salah satu dokter spesialis mata di rumah sakit itu. Namun, karena kurangnya tenaga dokter di sana, Dokter Dicky terkadang bertugas pula sebagai dokter umum. Wisnu pernah beberapa kali mengantar Suyanti berobat padanya. Dokter itu pula yang menangani pengobatan Suyanti kali ini.
“Saya tidak bisa meninggalkan Ibu dalam keadaan seperti ini, Dokter.” Wisnu menjawab pelan.
Dokter Dicky mengangguk paham. Ia mendekati Suyanti dan mengecek keadaannya. “Menurut perhitungan saya, seharusnya Ibu kamu sudah bisa siuman sebentar lagi.”
“Benarkah itu, Dokter?”
“Kapan saya pernah berbohong sama kamu?”
“Berarti Ibu sudah benar-benar melewati masa kritis?”
“Iya, benar. Ibumu akan baik-baik saja, Wisnu. Akan tetapi, ada satu hal yang ingin saya sampaikan sama kamu.” Dokter Dicky memandang lurus ke arah Wisnu. Ia seolah bersiap untuk mengutarkan hal yang sangat penting.
Melihat gelagat sang dokter, rasa penasaran Wisnu meninggi. “Apa itu, Dokter?”
“Ehm… Saya tidak tahu apakah ini waktu yang tepat untuk mengatakannya. Tapi, cepat atau lambat, kamu harus tahu.”
“Sebenarnya ada apa, Dokter?” Rasa penasaran Wisnu makin bertambah.
Dokter Dicky menghela napas sebelum berujar, “Wisnu, Ibu kamu---”
“Wisnu!” Belum sempat Dokter Dicky menuntaskan kalimatnya, sebuah suara perempuan memotongnya. Wisnu seketika menolah ke asal suara itu. Dilihatnya Suyanti tengah duduk bersandar di ranjangnya. Matanya masih terpejam, namun perempuan yang nyaris mati itu jelas telah tersadar dari lelapnya. Wisnu segera menghambur memeluk ibunya.
“Ibu! Syukurlah Ibu selamat.”
Suyanti mendorong tubuh Wisnu dari pelukannya. “Jam berapa sekarang, Nu?” Ia bertanya.
“Sekitar jam 6 pagi.”
“Kalau begitu, kenapa kamu di sini?”
“Apa maksud Ibu? Aku di sini untuk menemani Ibu.” Wisnu menjawab dengan sedikit meninggikan suaranya. Ia terheran dengan pertanyaan Suyanti.