Bagi Wisnu, Suyanti adalah segalanya. Perempuan itu adalah tumpuan dan tujuan dari setiap langkah kakinya. Ia adalah tempat berpulang dan berkeluh kesah. Ia adalah poros yang membuat jagatnya berputar. Meski terkadang bersilang pandang, namun Wisnu mencintai ibunya lebih dari apa pun.
Semenjak kepergian suaminya, Suyanti mengambil tampuk nahkoda keluarga. Ia segera menggulung lengan bajunya untuk mengais rezeki. Namun, memburu pekerjaan di ibu kota bukanlah perkara gampang. Apalagi untuk seorang perempuan yang telah berumur dan hanya memegang ijazah SD. Suyanti sadar akan hal itu. Ia pun tak pilih-pilih dalam mencari kerja.
Suyanti mendatangi kios-kios, ruko-ruko, dan rumah-rumah makan di pasar demi mengutarakan niat melamar kerja. Usaha Suyanti membuahkan hasil. Salah seorang pemilik rumah makan yang cukup besar tertarik menggunakan jasanya. Suyanti menyambut pekerjaan itu penuh semangat. Setiap hari ia rajin mengepel, menyapu, mengelap meja, mengantar pesanan, hingga mencuci piring dan gelas.
Tahun demi tahun dilalui oleh Suyanti dengan beban yang tak ringan. Ia sadar dengan bertambahnya usia, maka kemampuan fisiknya kian menurun. Dua tahun terakhir ia merasakan perubahan besar dalam stamina dan kemampuannya dalam bekerja. Ia merasa mudah lelah dan pusing. Penglihatannya pun kian memburuk. Ia sempat pergi berobat beberapa kali. Hasil pemeriksaan menyatakan ia menderita katarak dan disarankan untuk segera melakukan operasi. Namun, tak tersedianya biaya menjadi jurang penghalang baginya.
Dalam keadaan serapuh itu, Suyanti masih memaksakan diri untuk bekerja. Ia tetap ingin menyediakan atap yang kokoh bagi Wisnu untuk berteduh. Tapi, keinginan itu sepertinya harus kandas seiring kondisi fisiknya yang tak mampu lagi bertahan. Kejadian di dapur satu hari lalu meruntuhkan benteng terakhir pertahanannya.
***
Dengan perlahan, Wisnu menuntun Suyanti melangkah dari satu titik ke titik lain di rumahnya. Ia mengajari ibunya menghafal denah rumah mereka dengan menggunakan tongkat dan langkah kaki. Ruang-ruang di dalam rumah mulai dari kamar tidur, dapur, hingga kamar mandi ditelaah Suyanti untuk ia masukkan ke dalam memori otaknya. Pada awalnya, semua terasa sulit. Suyanti masih kerap menabrak benda-benda di depannya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai memahami sudut-sudut rumahnya secara utuh.
Kemajuan Suyanti menghapus rasa khawatir Wisnu manakala ia harus meninggalkannya sendiri di rumah. Setelah ibunya tak bekerja, maka tugas mencari nafkah secara otomatis berpindah ke pundaknya. Wisnu menerima tanggung jawab itu. Ia merasa bahwa ini adalah kesempatan baginya untuk membalas kebaikan ibunya.
Di pagi hari, Wisnu menemani ibunya sarapan. Setelah meninggalkan bekal makan siang bagi untuk Suyanti di atas meja, ia lantas pamit pergi ke sekolah, meskipun sebenarnya ia sudah tak pernah menginjakkan kaki lagi di sana. Wisnu sengaja tak menceritakan hal itu kepada ibunya. Suyanti bisa langsung murka andai tahu putranya itu telah menampas tali ikatan dengan dunia pendidikan.
Dari pagi hingga petang, Wisnu berkeliling kota membawa gitar dan bernyanyi demi mengharap akan cipratan rupiah dari orang-orang yang ia temui di jalan. Ia pulang ke rumah di saat matahari tenggelam sembari membawa makan malam untuk ia santap bersama ibunya.
Suatu malam sepulang mengamen, Wisnu mendadak panik setelah tak menemukan ibunya di dalam rumah. Ia telah mencari-cari ke lingkungan sekitar rumahnya. Namun, Suyanti tak terlihat di sana. Wisnu berlari ke sana kemari dan bertanya kepada siapa saja yang ia temui di jalan demi mencari jejak ibunya. Tetapi, segala usahanya tak membuahkan hasil. Hingga larut menjelang, keberadaan Suyanti masih menjadi misteri yang menyiksa batinnya.
“Wisnu!” panggil sebuah suara.
Wisnu menoleh. “Eh, Bang Dikin,” ucap Wisnu pada tetangga rumahnya yang setiap hari menawarkan jasa ojek di pasar Klender itu.
“Abang perhatiin, lu dari tadi lari-larian bae, nyari apaan?”
“Saya nyari Ibu, Bang. Abang, lihat nggak?”
“Lha, bukannya, Ibu lu ada di rumah?”
“Yang bener, Bang?”
“Tadi Abang lewat depan rumah lu. Abang denger Ibu lu sedang ketawa-tawa.”
Wisnu terdiam mencerna informasi dari Bang Dikin. Ada sesuatu yang ganjil di sana. Sekian tahun Ibunya bahkan tidak bisa tersenyum. Bagaimana mungkin sekarang Suyanti bisa tertawa? Dari sekian banyak kemustahilan dalam hidupnya, hal itu berada di daftar paling atas.
“Yang bener, Bang?” Wisnu mencoba memastikan keabsahan berita yang ia dengar.
“Buat apa Abang bohong? Memangnya Abang dapet duit kalau bohong?”