Untuk Kamu

Sucayono
Chapter #3

Permintaan Seorang Teman

Jalanan di kota Klender cukup ramai di malam hari. Para pedangang kaki lima mulai dari nasi goreng, martabak, bakso, siomai, mie ayam, dan lain-lain berjajar dengan rapi. Wisnu berjalan perlahan di belakang dan membiarkan Alana melangkah di depan. Mereka terdiam sepanjang waktu seolah tak ada sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan. Hingga pada satu titik, Alana memutuskan untuk memecah keheningan di antara mereka.

“Apa kamu selalu pendiam seperti ini, Nu?” Alana bertanya ringan. Ia memanggil Wisnu dengan nama panggilannya seakan ia sudah berkawan dekat dengan pemuda itu.  

Wisnu tergugup sesaat. Ia tak menduga kalau Alana akan mengajaknya bicara. “Nggak juga. Tergantung dengan siapa aku bicara. Kalau lawan bicaranya nggak menarik, biasanya aku akan banyak diam.” 

“Oh… jadi, menurut kamu, aku adalah lawan bicara yang nggak menarik?” Alana melirik Wisnu. 

Langsung terbit penyesalan di hati Wisnu dengan kata-kata yang baru saja dilontarkannya. Walau bagaimanapun, perempuan ini beberapa waktu lalu telah menolong ibunya. Andaikan bukan karena Alana, mungkin saat ini ia masih kebingungan mencari keberadaan Suyanti.

“Ehm… Kamu… biasa saja.” Wisnu meralat ucapannya, mencoba mengurangi rasa bersalahnya pada Alana. 

“Apa kamu juga suka menjawab pertanyaan dengan kata ‘biasa saja’?”

“Ehm…” Suara Wisnu tersekat. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ia kewalahan berhadapan dengan gadis cekatan seperti Alana.

“Nu, kenapa kamu harus menyembunyikan sikapmu yang sesungguhnya pada orang-orang?”

Wisnu menghentikan langkahnya. “Maksud kamu?”

Alana ikut berhenti. “Ibu kamu sudah cerita semua sama aku. Ibu kamu bilang kalau anaknya adalah anak terbaik di dunia. Anak yang sangat berbakti. Anak yang mau bekerja keras demi membuat ibunya bahagia.”

“Kamu nggak harus mempercayai semua yang dikatakan Ibu,” ujar Wisnu sembari kembali merangkai jalannya.

Alana ikut melangkah kembali. “Aku percaya omongan Ibu. Orang seperti Ibu nggak akan bohong. Nyatanya kamu memang anak yang baik.”

“Semua orang di sekolah tahu kalau aku adalah murid nakal yang bisanya bikin onar dan berkelahi. Kamu juga tahu itu, kan?”

“Aku tahu. Tapi, aku juga tahu alasan kenapa kamu berkelahi dengan kakak kelas tahun lalu. Kamu membela murid lain yang dirundung dan dianiaya oleh mereka.”

Sorot mata Wisnu seketika menajam kepada Alana. “Kenapa kamu bisa tahu itu? Kamu menyelidikiku?”

Alana mengangguk ringan. “Iya. Sejak hari pertama di sekolah, aku banyak mendengar rumor tentang kamu. Kebanyakan hal buruk. Bahkan, sebelum masuk ke kelas, Pak Dani juga memintaku berhati-hati dengan kamu. Namun, aku memutuskan untuk mencari tahu yang sebenarnya terjadi. Dan, aku menemukan fakta-fakta yang menggambarkan karakter kamu yang sesungguhnya. Dari situ, aku bisa menyimpulkan kalau kamu anak yang baik. Ditambah lagi, kamu pernah menolongku.”  

“Menolong kamu? Kapan?” 

“Sekitar tiga bulan lalu. Itu adalah hari pertamaku di kota ini. Aku bersama Mami dan Papi baru saja sampai di stasiun Jatinegara setelah perjalanan panjang dari Surabaya. Karena hujan, kami jadi terburu-buru naik angkutan umum. Tanpa sadar, tas kami yang paling penting tertinggal. Karena barang kami banyak, kami jadi nggak merasa kalau ada yang kurang. Baru setelah turun dari angkutan umum, kami menyadari bahwa tas kami nggak ada. Mami dan Papi sangat panik. Banyak sekali barang penting di situ. Ada beberapa perhiasan dan cincin pernikahan Mami dan Papi di dalamnya. Mereka memang sengaja nggak memakai perhiasan dan menyimpannya di dalam tas agar nggak terlihat mencolok ketika di kereta. Dompet Mami dan Papi juga ditaruh di situ. Banyak pula surat-surat berharga di dalam tas itu. Kami nggak bisa membayangkan kalau tas itu sampai hilang. Kami bertiga hendak kembali ke stasiun sebelum ada seorang pemuda yang berlari menerjang hujan dan menghampiri kami sambil membawakan tas berharga kami itu. Pemuda itu sangat jujur. Dia berlari hampir 10km mengejar angkutan umum yang kami tumpangi demi mengembalikan barang kami yang tertinggal. Ia menolak saat Papi mau kasih imbalan. Di zaman ketika ekonomi sedang sulit sehingga orang gampang berbuat apa saja demi uang, pemuda itu justru sebaliknya. Dia menunjukkan sikap kesatria yang amat terpuji. Ia sungguh pemuda yang baik.”  

Alana menghentikan ucapannya. Ia menatap Wisnu yang tengah terlarut mendengar ceritanya. “Nu, pemuda itu… kamu, kan?”

Wisnu tak menjawab. Ia mengunci mulutnya rapat-rapat. Sementara Alana terus melanjutkan bicaranya. “Sejak hari itu, aku sangat ingin bertemu dengan pemuda itu lagi. Aku berkali-kali pergi ke stasiun, tapi nggak pernah bertemu dengannya. Aku hampir menyerah. Sampai akhirnya, aku bertemu kembali dengan pemuda itu di hari pertama masuk sekolah. Aku langsung tersenyum melihat kamu ada di kelas kita. Harapanku untuk bertemu denganmu lagi akhrinya terkabulkan. Aku merasa senang sekali. Lebih senang lagi, ketika Pak Dani memintaku duduk di sebelah kamu. Kamu nggak tahu betapa bahagianya aku saat itu. Aku seperti bertemu dengan pahlawanku. Tapi, kamu malah bersikap kasar dan meninggalkan ruang kelas. Aku sangat terkejut dengan sikap kamu. Untuk sesaat, aku berpikir mungkin aku salah orang. Tapi, aku nggak lupa dengan wajah pemuda yang menolongku waktu itu. Itu adalah kamu. Aku sangat yakin itu. Makannya aku keluar mengejar kamu. Tapi, kamu malah bertingkah lebih kasar lagi. Meski begitu, aku tetap percaya kalau kamu orang baik. Kamu hanya berpura-pura kasar. Saat itu aku berpikir, mungkin ada sesuatu yang ingin kamu tutupi. Sesuatu yang orang lain nggak boleh tahu. Dan hari ini, aku melihat sisi kamu yang lain. Sebuah sisi yang jauh berbeda dengan yang sering kamu tampakkan di sekolah.” 

Wisnu bertambah diam setelah topengnya terlepas satu persatu.

“Kenapa kamu harus begitu, Nu?” 

Lihat selengkapnya