Sinar mentari dari ufuk timur memeluk hangat tanah Klender. Deru-deru mesin kendaraan mulai terdengar menderu di jalanan. Para penjaja makanan keliling telah sibuk mendorong gerobak dagangnya. Orang-orang berpakaian rapi siap melaju ke kantor. Toko-toko kelontong mulai membuka pintu dan jendelanya. Sementara para pramusaji tengah mempersiapkan rumah makan mereka demi menyambut para tamu. Pagi telah mendetakkan nadi kehidupan di kota kecil di Jakarta Timur itu.
Dari sebuah pemukiman warga, Alana muncul dari balik pintu rumahnya. Seabrek kesibukannya di sekolah telah menanti hari ini. Bibir gadis bermata jernih itu seketika mengembang mendapati sosok pemuda yang telah berdiri di halaman rumahnya.
“Wisnu!” serunya. “Sejak kapan kamu di situ?”
Wisnu mengulum senyumnya. “Belum lama. Baru saja sampai.”
“Kamu pakai seragam sekolah?”
“Aku janji pada seorang teman untuk kembali ke sekolah. Aku mau menunaikan janji itu.”
Alana mengembangkan bibirnya semakin lebar. “Temanmu itu pasti bangga karena kamu menepati janji.”
“Al, sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu.”
“Untuk?”
“Dulu aku pernah berlaku kasar sama kamu. Padahal, aku belum mengenal kamu.”
“Kita sudah berteman sekarang. Jadi, yang sudah lalu biarlah berlalu. Aku sudah melupakannya.” Alana menjawab bijak. “Kita berangkat sekarang?”
“Ayuk.”
Sepanjang perjalanan, Alana banyak mengeluarkan candaanya kepada Wisnu yang membuat pemuda itu terpingkal-pingkal. Mungkin hal inilah yang membuat ibunya jatuh sayang pada Alana. Alana mempunyai sisi humoris yang tak ia miliki. Alana pasti mengingatkan Suyanti pada mendiang kakak perempuannya. Wisnu masih berumur 6 tahun ketika kakaknya itu meninggal, tetapi ia masih hafal beberapa karakter yang dimiliki oleh kakak perempuannya. Beberapa di antaranya adalah lembut, sopan, dan humoris. Kesemua karakter itu juga dipunyai oleh Alana. Suyanti pasti merasa menemukan sosok anak perempuannya bersemayam dalam diri Alana.
“Wisnu, aku punya tebakan. Kalau kamu bisa jawab, berarti kamu hebat.”
“Oh, iya, apa tebakannya?”
“Apa pasangannya bumi?”
“Ehm… matahari?”
“Salah banget.”
“Bintang?”
“Tambah salah.”
“Apa, ya, bulan?”
“Itu jelas salah.”
“Terus, apa, dong?”
“Kamu nyerah, nih?”
“Iya, deh. Aku nyerah.”
“Pasangan Bu Mi adalah Pak Mi.”
Tawa Wisnu jatuh berhamburan ke tanah.
“Aku ada tebakan lagi. Sekarang harus dijawab dengan benar, ya.”
“Oke.”
“Siapa raja hutan yang sebenarnya?”
“Wah, kalau itu aku tahu. Harimau, kan?”
“Salah banget.”
“Lha, kok, bisa salah? Bukannya kata orang begitu?”
“Kata orang, kan, nggak selalu benar, Nu!”
“Lalu, jawabannya apa?”
“Raja hutan yang sebenarnya itu adalah King Kong.”
“Kok, bisa?”
“Kan, dia ‘King’. Makannya, sebenarnya dia adalah raja hutan yang sebenarnya.”
Wisnu kembali tergelak. “Ada-ada saja kamu.”
“Sekarang, giliran kamu, Nu.”