Wisnu memetik gitarnya dengan lincah demi mengiringi lantunan suara Alana. Sejak mendaftar kontes Idola Jakarta, keduanya kerap berlatih bersama sepulang sekolah. Sebuah warung kopi di samping pasar Klender dijadikan tempat untuk mereka menyatukan harmoni dalam bermusik.
Selepas latihan, Wisnu pergi mengamen. Alana terkadang turut menyertainya. Meski berulang kali dilarang oleh Wisnu, tetapi gadis itu tetap membuntutinya menerjang udara panas kota Jakarta sembari mendendangkan lagu.
“Al, kamu dengerin berita, nggak? Katanya sekarang lagi ada krisis keuangan atau apa gitu, ya?” Wisnu bertanya di sela-sela mereka mengamen.
“Iya, itu bener. Emang sedang terjadi krisis keuangan sekarang. Tapi, nggak hanya situasi ekonomi saja sebenarnya, keadaan politik di negara kita juga lagi nggak baik-baik saja. Tiga hari lalu, ada demo mahasiswa di Trisakti. Mereka menuntut Presiden Soeharto untuk mundur. Demo itu berakhir ricuh dan ada beberapa mahasiswa yang terkena tembakan.”
“Kamu denger berita kerusuhan kemarin di Glodok juga, nggak? Katanya ada penjarahan, pengrusakan, dan pembakaran ruko-ruko di sana.”
“Iya. Aku juga tahu itu. Ada beberapa temen Papi yang rukonya dibakar di sana. Aku jadi ngeri banget denger cerita itu.”
“Makannya kita harus lebih hati-hati, Al. Keadaan lagi nggak menentu sekarang. Semoga saja kerusuhannya nggak melebar ke sini.”
“Semoga saja ya, Nu. Oh, iya, ngomong-ngomong, gimana keadaan Ibu kamu?” Alana mengalihkan topik pembicaraan. Ia tak mau berlama-lama membahas isu yang membuat bulu romanya meremang.
“Ibu sudah semakin membaik.” Wisnu menjawab tersenyum demi mengurangi ketegangan di wajah Alana. Ia seolah mengerti ketidaknyamanan yang dirasakan Alana pada bahan perbincangan mereka sebelumnya sehingga ia pun setuju untuk menghempaskan topik itu jauh-jauh. “Meski nggak bisa lihat, tapi sekarang udah jauh lebih baik. Ibu udah bisa pulang-pergi ke pasar sendiri tanpa perlu diantar dan tanpa nyasar.”
“Oh, iya?” Alana tersenyum antusias.
“Iya. Jam segini biasanya Ibu lagi ada di pasar. Ibu suka main ke teman-teman lamanya di pasar sebelum belanja kebutuhan kami. Kapan-kapan, kamu harus dateng ke rumah, kita bisa masak bareng.”
Alana mengangguk-angguk. “Ehm… terdengar menyenangkan. Aku sepertinya nggak bisa menolak untuk itu.”
“Ibu juga titip salam sama kamu. Katanya kangen.”
“Oh, iya? Ibu kamu kangen sama aku?”
“Kata Ibu, kamu mirip sama mendiang kakak perempuanku.”
“Emangnya, seperti apa mendiang kakak kamu itu?”
“Ya, seperti kamu ini. Sopan, lembut, pintar, dan juga cantik.”
Tawa Alana menyembur mendengar pujian Wisnu. Mereka lantas mengobrol santai. Ketika tengah asyik berbincang, tiba-tiba ada sekumpulan orang yang berjalan beramai-ramai menuju ke arah Wisnu dan Alana. Wajah orang-orang itu tak nampak ramah. Mereka berteriak-teriak kencang, “Bakar Cina, bunuh Cina, jarah!”
“Al, sebaiknya kamu pulang. Aku antar kamu,” ujar Wisnu melihat gelagat tidak baik dari orang-orang itu. Alana mengangguk. Mereka langsung berlari menghindari kawanan masa itu. Namun, di satu persimpangan jalan, mereka bertemu dengan segerombolan masa lain dari arah berlawanan.
“Cepat pakai ini, Al.” Wisnu segera mencopot jaket jeans dan topi yang ia kenakan dan memakaikannya di tubuh Alana. Ia juga mengambil masker dan kacamata hitam dari dalam tasnya untuk ia pakaikan pada Alana. Biasanya Wisnu menggunakan kacamata dan maskernya itu untuk berlindung dari terik mentari dan udara kotor jalanan. Kini, ia memberikan benda-benda itu untuk melindungi Alana dari rombongan masa di depan mereka. Dengan wajah yang hampir tertutup rapat, orang-orang akan sulit mengenali paras oriental Alana.
“Tetap tenang dan jangan bicara, Al,” ujar Wisnu. Alana hanya bisa mengangguk. Mereka melangkah perlahan agar tak mengundang curiga. Awalnya, semua berjalan sesuai rencana. Wisnu dan Alana berhasil melewati gerombolan masa itu. Namun, tiba-tiba tiga orang laki-laki datang menghampiri mereka.
“Hei, kalian! Tunggu!” ujar salah satu dari mereka.
Wisnu dan Alana terpaksa menghentikan langkah dan dan berbalik menghadap ketiga orang itu.
“Siapa kalian?”
“Maaf, Bang. Kami hanya warga sekitar yang kebetulan lewat sini, Bang.” Wisnu menjawab pelan.
“Kami sedang ingin memberi pelajaran pada orang-orang Cina.”
Pernyataan itu seketika membuat Alana panik. Tubuhnya merinding. Rasa takut menyumbul-nyumbul dalam dadanya. Namun, Wisnu tetap bersikap tenang. Seakan mengerti perasaan Alana, Wisnu dengan lembut menggandeng tangan gadis itu demi menenangkannya.
“Tapi kami, kan, bukan Cina, Bang. Kami pribumi. Coba lihat tampang saya. Masa iya, tampang kayak saya ini orang Cina?”
“Kalau lu, gue percaya. Tapi, gimana dengan cewek yang pakai masker ini? Kulitnya putih. Jangan-jangan dia orang Cina.”
“Dia sepupu saya, Bang,” cepat-cepat Wisnu menjawab. “Kebetulan dia emang jarang keluar rumah. Jarang kena matahari, jadi kulitnya bersih.”