Untuk Kamu

Sucayono
Chapter #7

Puisi Cinta

Atas kebaikan Dokter Dicky, Alana diizinkan tinggal di rumah sakit untuk menjalani perawatan. Semua tagihan ditanggung oleh dokter baik hati itu. Wisnu yang telah pulih, menawarkan diri menjadi petugas bersih-bersih sukarela untuk sedikit mengkompensasi biaya pengobatan Alana. 

Di jam-jam istirahat, Wisnu menuangkan seluruh waktunya untuk Alana. Ia dengan telaten menyuapi Alana ketika jam makan, mengajak Alana berjalan-jalan di taman di kala sore, dan membacakan buku dongeng sebelum Alana tidur. Beruntung rumah sakit itu mempunyai perpustakaan yang koleksinya boleh dipinjam.   

Tiga bulan berlalu, keadaan Alana telah membaik. Luka-luka di tubuhnya telah pulih. Keadaan mentalnya pun mulai stabil. Alana merasa telah sembuh. Ia sudah siap untuk menjalani kehidupannya lagi. Meskipun kali ini, tanpa indra penglihatan. Namun, ia memiliki Wisnu yang akan selalu ada sebagai penunjuk jalannya. 

Di luar lingkungan rumah sakit, keadaan negara berangsur normal setelah Presiden Soeharto meninggalkan jabatannya. Tak ada lagi kerusuhan atau demonstari besar-besaran seperti yang terjadi sebelumnya. Tak ada lagi gejolak politik yang membahayakan keutuhan bangsa. Tak ada lagi bentrokan masa dengan aparat yang memangsa korban. Kedamaian perlahan hadir kembali di tengah-tengah wilayah di tanah air Indonesia. 

Di suatu pagi, Wisnu meminta izin Dokter Dicky untuk membawa Alana pulang. Padanya, ia dan Alana menghaturkan rasa terima kasih. Dokter Dicky menawarkan Wisnu posisi pegawai tetap di rumah sakit. Namun, Wisnu menolaknya. Ia tak mau hutang budinya semakin bertambah tinggi pada Dokter Dicky. Di samping itu, Alana juga telah merasa bosan tinggal di rumah sakit. Ia ingin menghirup udara bebas seperti dahulu. Melihat tekad Wisnu dan Alana, Dokter Dicky tak kuasa menahan mereka.

Wisnu mengajak Alana tinggal di rumahnya. Alana tak bisa lagi menetap di rumahnya yang terdahulu lantaran sewanya telah habis. Ia juga merasa trauma berada di rumah itu karena di sanalah ia mengalami sebuah tragedi yang tak ingin ia ingat.  

Wisnu menempatkan Alana di kamar Suyanti yang tak lagi bertuan. Ia lantas mengajari Alana menghafal isi rumahnya seperti yang dahulu ia lakukan pada Suyanti. Dalam waktu singkat, Alana telah mampu mengetahui titik-titik rumah itu dengan tepat. Dengan tongkat di tangannya, ia dapat leluasa bergerak tanpa perlu khawatir membentur benda-benda di depannya. Ia juga hafal letak kamar mandi sehingga ia bisa membuang hajat dan membersihkan tubuhnya sendiri. Beruntung suster yang dahulu merawatnya di rumah sakit mengajarinya mengurus diri. Alana jadi tidak perlu bergantung kepada Wisnu untuk hal-hal yang bersifat sangat pribadi.  

Setiap pagi, Wisnu dan Alana pergi mengamen. Keduanya sudah tak lagi bersekolah. Alana tak ingin pergi ke sekolah dengan keadaannya sekarang. Sementara Wisnu yang telah ditinggal Suyanti, terbebas dari janjinya untuk belajar di sekolah. 

“Hari ini, kita dapat berapa, Nu?” tanya Alana kepada Wisnu ketika mereka tengah beristirahat di sebuah taman sembari menikmati es buah segar dalam kantong plastik. 

“Wah, hari ini kita dapat cukup banyak, Al,” ucap Wisnu semringah setelah menghitung lembaran uang kertas dan koin yang berhasil mereka kumpulkan.

“Beneran, Nu? Emang dapat berapa?” 

“Ya, cukup buat makan kita berdua sampai tiga minggu.”

“Kamu hebat, Nu.”

“Kamu yang hebat, Al. Dulu ketika mengamen sendiri, aku nggak pernah dapat uang sebanyak ini. Sekarang, setelah ada kamu, hasil mengamen kita jadi berlimpah. Orang-orang terhibur dan suka dengan suara kamu yang merdu.”

“Ah, suaraku biasa saja,” tukas Alana sembari tersimpul. “Yang bagus itu, permainan gitar kamu yang semakin canggih.”  

Melihat Alana menyunggingkan senyum, hati Wisnu riang tak alang kepalang. Telah lama ia menantikan momen ini. Semenjak di rumah sakit, Wisnu telah berusaha sekuat tenaga dan kemampuannya untuk memancing senyum perempuan di hadapannya itu. Namun, segala cara yang dilakukannya tak kunjung membuahkan hasil. Tapi, hari ini nasib baik sepertinya tengah menaungi dirinya. Perempuan yang dahulu kehilangan semua kebahagiaannya itu, kini dapat tersenyum kembali.

“Al,” panggil Wisnu lembut.

“Kenapa, Nu?”

“Kamu baru saja tersenyum. Sudah lama sekali aku nggak lihat kamu tersenyum.” Wisnu berkata dengan haru. Beberapa butir air mata kebahagiaan mengalir dari pelupuk matanya.

Lihat selengkapnya