Kompetisi Idola Jakarta mengharuskan para kontestan menampilkan lagu ciptaan sendiri di hadapan para juri. Mereka dilarang membawakan lagu populer yang sudah ada di pasaran. Demi menjawab tantangan itu, Wisnu dan Alana bekerja keras untuk mengkreasikan ide mereka menjadi sebuah tembang yang apik. Alana mengarang bait demi bait lirik lagu. Sementara Wisnu menyusun nada yang sesuai untuk mengiringi bait lagu itu. Dalam beberapa hari, lagu mereka rampung dan siap untuk mereka presentasikan.
“Lirik lagunya dalam sekali, Al,” ujar Wisnu seusai mereka latihan.
Alana tersenyum demi mengapreasisi pujian Wisnu. “Lirik lagu itu sebenarnya buat kamu, Nu.”
Wisnu menegakkan tubuhnya. Ia meletakkan gitar yang sedari tadi di pegangnya. Wajahnya nampak penasaran. “Buat aku?”
“Iya, Wisnu. Lirik lagu itu adalah balasan untuk puisi yang kamu berikan waktu itu.”
Penuturan Alana memancing senyum Wisnu untuk mengembang. “Terima kasih, Al. Bait-bait yang kamu tulis sungguh indah sekali.”
Alana mengangguk. “Puisi kamu juga nggak kalah indah, Nu. Aku jadi teringat seorang pemuda yang dahulu sangat membenci karya sastra. Ternyata, pemuda itu sekarang ahli membuat puisi,” tukas Alana seraya tersenyum.
“Itu karena ada seorang perempuan yang membuat pemuda itu berubah. Pemuda itu sangat mencintai perempuan itu. Hingga saat ini, pemuda itu masih menunggu jawaban atas cintanya pada perempuan itu.”
Alana meraba tangan Wisnu. “Nu, pemuda itu sudah mendapatkan jawaban atas cintanya pada lirik lagu itu.”
Wisnu mengingat-ingat kembali setiap lirik lagu berjudul “Suatu Hari” yang dikarang Alana untuknya. Ia tersenyum lebar setelah meresapi bait lagu itu secara mendalam. “Apa benar isi lagu itu untukku, Al?”
Alana tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Namun, hal itu cukup untuk menghadirkan kejelasan pada Wisnu akan jawaban untuk cintanya. “Kalau begitu, aku akan menunggu akan datangnya ‘Suatu Hari’ itu.”
Alana mengangguk lagi. “Yaudah. Ayo kita ulangi latihannya.”
Detik demi detik yang terus bergulir tak disiakan oleh Wisnu dan Alana untuk membangun sebuah jalinan di antara mereka sebagai penyanyi dan pemain gitar. Hari-hari mereka diisi dengan latihan demi latihan. Hingga akhirnya, hari audisi yang mendebarkan itu pun datang. Ratusan peserta memenuhi kantor Hujan FM demi mengejar mimpi mereka menjadi jawara Idola Jakarta.
“Nu, sepertinya di sini ramai sekali.” Alana berbisik pada Wisnu ketika mereka tengah menunggu untuk mendapat giliran tampil.
“Iya, Al. Acara ini memang menarik. Jadi, banyak sekali yang daftar jadi peserta. Padahal ini sudah audisi hari kelima, tetapi pesertanya masih banyak banget.”
“Aku jadi gugup, Nu.”
Wisnu menggenggam tangan Alana demi menurunkan ketegangannya. “Tenang saja, Al. Ada aku di sini. Kita akan melalui semuanya bersama.”
“Apa kita bisa menang, Nu?”
“Kita sudah berlatih keras selama beberapa minggu terakhir, Al. Kalaupun seandainya kita kalah, itu juga nggak apa-apa. Yang penting kita sudah berusaha menampilkan karya kita dengan sebaik mungkin.”
Alana tersenyum. “Sekarang kamu jadi jauh lebih bijak, Nu.”
Wisnu ikut tersenyum mendapat pujian dari Alana. Dalam hati, ia berterima kasih pada Dokter Dicky yang masih memberinya izin untuk meminjam berbagai buku yang menarik minatnya dari perpustakaan rumah sakit.
“Aku akan terus belajar untuk jadi manusia yang lebih baik lagi untuk kamu, Al.”
Alana tersipu. Pipinya tiba-tiba bersemu merah. Ia segera mengalihkan topik pembicaraan. “Sejak tadi, aku dengar lagu-lagu orang banyak yang bagus, Nu.”
“Iya. Aku setuju. Tapi, aku juga sangat suka dengan lagu kita. Lirik yang kamu tulis sangat bagus dan menyentuh. Aku yakin kita punya peluang besar di kompetisi ini.”
“Kalaupun lagu kita terdengar bagus, itu karena kamu yang mampu membuat irama yang enak didegar, Nu. Liriknya itu nomor dua.”
“Al, musik mungkin memang enak didengar. Tapi dalam sebuah lagu, musik itu cuma pengiring. Lirik dan cara penyanyi membawakan lagu itulah yang nantinya mampu membawa pesan sebuah lagu untuk dapat sampai di hati para pendengarnya. Dalam hal ini, kamu yang berperan untuk itu, Al. Bukan aku. Jadi, kamu harus bangga pada diri kamu sendiri.”
Alana lagi-lagi tersipu atas pujian Wisnu. “Terima kasih, Nu. Kamu selalu bisa membuat aku tersenyum. Kamu bisa membuat perempuan buta ini memiliki arti dan semangat hidup.”
“Kamu nggak buta, Al. Jangan pernah merasa seperti itu. Karena kamu bisa menggunakan mataku untuk melihat. Mengerti?”
Alana mengangguk.
“Sekarang, kamu hadap ke kiri,” ujar Wisnu. Alana menurut.
“Di depan kamu, ada banyak orang yang sedang berbaris menunggu giliran masuk studio. Yang paling depan, ada seorang perempuan bertinggi sama seperti kamu dengan rambut hitam sebahu dan mengenakan baju dan rok panjang berwarna cokelat sedang memegang kertas di tangannya sambil mulutnya berkomat-kamit. Ia sedang latihan lagu yang nanti akan dinyanyikan di depan para juri. Ia sepertinya peserta tunggal.”
Alana tersenyum lagi. “Kalau di belakang perempuan itu?”
“Di belakangnya, ada Mas-Mas berambut gondrong agak keriting dan berkacamata. Ia lebih tinggi dari pada perempuan yang tadi. Nah, dia membawa gitar di tangannya. Dandanannya kasual. Sama seperti Mbak yang tadi, sepertinya ia adalah peserta tunggal.”
Alana kembali mengangguk seraya tersenyum. “Kalau di belakangnya lagi?”
“Kalau di belakangnya lagi, ada lima orang anak muda seumuran kita. Mereka memakai pakaian serba hitam dari mulai sepatu, celana, kaos, hingga gelang. Mereka sepertinya anak band. Sepertinya yang ini akan jadi saingan berat kita, Al.”
Alana terkikik. “Kalau di belakangnya lagi?”
“Kalau di belakangnya…”
“Perhatian… perhatian…” Belum sempat Wisnu melanjutkan kalimatnya, terdapat suara panitia menggema di ruang tunggu Hujan FM. “Peserta dengan nomor urut 31 sampai 40, dipersilakan memasuki ruang studio 1. Peserta nomor urut 41 sampai 50 ke ruang studio 2, dan peserta nomor urut 51 sampai 60 ke ruang studio 3.”
“Kita nomor berapa, Nu?”