Pagi sekali, Wisnu dan Alana telah berpakaian rapi. Hari ini akan menentukan jalan menuju nasib yang ingin mereka raih. Namun, nasib itu sepertinya masih melayang bebas di angkasa. Meski telah terpekur sejak semalam, Wisnu dan Alana masih bimbang. Alana duduk di halaman rumah dengan wajah gelisah. Sementara Wisnu berjalan mondar-mandir tak kalah resahnya.
“Nu,” panggil Alana. “Apa kamu sudah membuat keputusan?”
Wisnu menggeleng. “Belum, Al. Aku masih bingung.”
“Kita harus segera berangkat, Nu. Hari sepertinya sudah beranjak siang.”
“Aku tahu, Al,” tukas Wisnu. “Tapi, aku nggak yakin harus ke mana.” Wisnu menghentikan langkahnya, lalu duduk di depan Alana dan menatapnya dalam-dalam. “Al, kita di posisi sekarang karena lagu kamu. Kamu yang bikin liriknya. Kamu juga yang menyanyikannya. Kamu yang lebih berhak menentukan ke mana kita pergi. Aku akan mendukung apa pun yang kamu pilih. Sekarang, aku tanya sama kamu, kamu pengin pergi ke mana, Al?”
“Nu, bukankah sudah kukatakan sebelumnya, aku ikut kamu.”
“Nggak, Al. Kali ini, biar kamu yang memutuskan.”
Untuk beberapa saat, Alana ragu. Ia tak yakin dengan pilihannya. Namun, setelah Wisnu memberinya dukungan, ia akhirnya mulai berbicara. “Sebenarnya, aku suka dengan Idola Jakarta. Kita sudah berlatih keras demi mengikuti kontes itu. Pasti akan sangat menyenangkan kalau kita bisa memenangkannya. Tapi, meskipun begitu, hati kecilku lebih condong untuk pergi ke Cendaya Record karena penyanyi idolaku, Maya Pitaloka, juga pernah rekaman di sana. Aku ingin bisa mengikuti jejaknya menjadi penyanyi yang hebat. Apalagi, Pak Darko kemarin bilang kalau kita nanti bisa dimentori sama dia.”
Wisnu mengangguk. “Kalau hati kamu bilang begitu, maka kita akan ke Cendaya Record sesuai keinginan kamu.”
“Tapi, bagaimana dengan Idola Jakarta, Nu? Apa nggak sayang kalau kita lepas begitu saja?”
“Nggak apa-apa, Al. Apa pun yang membuat kamu senang, maka itu yang akan kulakukan.”
Alana tersenyum. “Terima kasih, Nu.”
“Ayo, Al. Kita berangkat sekarang.”
“Ayo.”
Dengan menggunakan angkutan bus, Wisnu dan Alana sampai di kantor Cendaya Record. Bangunan kantor itu memiliki 7 lantai dengan dinding-dinding berwarna putih.
Kedatangan Wisnu dan Alana disambut hangat oleh Darko di meja resepsionis. Ia langsung mengantar kedua tamunya menemui menuju ruang kerja atasannya di lantai teratas.
“Silakan duduk,” ujar seorang laki-laki berpakaian klimis berumur 50an kepada Wisnu dan Alana ketika mereka memasuki ruang kerjanya. Wisnu membantu Alana duduk di sebuah kursi sebelum ia sendiri duduk di sebelahnya. Darko mengambil posisi duduk di sebelah Wisnu.
“Selamat datang di Cendaya Record. Nama saya Handoko. Saya pemilik sekaligus direktur utama perusahaan rekaman ini. Saya yakin Adik berdua pernah mendengar nama perusahaan kami. Nah, saat ini, kami sedang fokus mencari bibit-bibit penyanyi muda untuk kami orbitkan menjadi bintang-bintang baru di kancah industri musik nasional. Adik berdua bisa lihat di dinding-dinding ruangan ini, banyak poster dari penyanyi terkenal yang mempunyai karier yang hebat. Mereka awalnya seperti Adik-adik ini, bukan siapa-siapa. Tapi, perusahaan ini membawa mereka menggapai puncak ketenaran di belantara musik Indonesia. Kalian berdua memilih keputusan yang tepat dengan datang ke sini dibandingkan mengikuti kontes menyanyi di Hujan FM. Minggu lalu, saya ada keperluan di sana untuk bertemu dengan pimpinan radio itu. Tanpa sengaja, saya melihat penampilan kalian. Saya langsung terpukau dengan bakat kalian, terutama suara Adik Alana ini. Suaranya begitu merdu dan mendayu-dayu.” Handoko mengucapkan kata-katanya dengan menggebu-gebu sembari menatap lekat-lekat wajah Alana. “Saya jamin, beberapa tahun dari sekarang, kalian pasti jadi penyanyi besar di negeri ini.” Handoko menutup kalimatnya dengan terkekeh.
“Terima kasih atas perhatiannya, Pak Handoko,” tukas Wisnu. “Apa yang perlu kami persiapkan mulai dari sekarang?”
“Tentu kalian harus lebih sering berlatih. Terutama Dik Alana yang harus meningkatkan kemampuan vokalnya. Jangan salah sangka dulu. Kualitas suara Alana sudah bagus, hanya saja perlu lebih dilatih agar bisa lebih bagus lagi.” Handoko tetap mengarahkan pandangannya pada Alana. Ia seolah mengabaikan keberadaan Wisnu.
Alana hanya tersenyum mendengar itu. Sejauh ini, semuanya terasa normal dan wajar baginya. Namun, Wisnu mulai tidak nyaman dengan cara Handoko yang sedari tadi tak melepas pandangan dari Alana.
“Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang, Pak?” tanya Wisnu lagi. Ia berusaha mengalihkan sorot mata Handoko yang terus menerus mengarah pada Alana.